REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (27/9). Luhut diperiksa sebagai pelapor kasus dugaan pencemaran nama baik dan berita bohong dengan terlapor Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti.
"Saya selesai diperiksa penyidik mengenai laporan saya kemarin dan saya pikir sudah selesai," ujar Luhut di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (27/9).
Dalam kesempatan itu, Luhut menegaskan, bahwa kebebasan tidak hanya bagi orang yang berbicara tapi juga objek yang dibicarakan juga memiliki hak asasi. Karena itu, ia memilih untuk menempuh jalur hukum setelah dua kali melayangkan somasi kepada dua terlapor tersebut. Sebab, bagi dirinya tidak ada kebebasan yang absolut.
"Kalau ada tadi disampaikan penyidik ada aturan Kapolri untuk mediasi ya silakan saja jalan, tapi ingin saya sampaikan supaya kita ini semua belajar bahwa tidak ada kebebasan absolut, kebebasan bertanggung jawab," tegas Luhut.
Luhut melanjutkan, ia tidak ingin anak cucunya memiliki anggapan bahwa dirinya telah membuat kecurangan di Papua. Sedangkan, kata dia, dirinya tidak pernah melakukan kecurangan, seperti yang diduga oleh terlapor. Karena itu, ia ingin kebenaran perkara ini dapat dibuktikan di pengadilan.
"Jadi biarlah dibuktikan di pengadilan. Kalau saya membuat salah ya saya dihukum, tapi kalau yang dilaporkan salah ya di hukum," ungkap Luhut.
Laporan Luhut sendiri teregister dengan nomor LB/B/4702/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya. Luhut melaporkan Haris Azhar dan Fatia dengan Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 ayat 3 UU RI Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 14 atau Pasal 15 UU Nomor 1Tahun 1986 tentang Peraturan hukum pidana Pasal 310 KUHP atau Pasal 311 KUHP.
Sebelumnya Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyoroti laporan tersebut. Ia melihat laporan Luhut dalam dua dimensi. Pertama, pihaknya melihatnya dengan dua dimensi yaitu siapa yang mengadukan, melaporkan dan siapa yang dilaporkan.
Asfina melanjutkan, dari pihak pelapor adalah pejabat publik, maka pejabat publik terikat pada etika dan kewajiban hukum. Artinya, pejabat publik harus bisa dikritik. Sebab jika tidak bisa dikritik maka tidak ada ada suara rakyat dalam berjalannya negara, begitu suara rakyat tidak ada maka tidak ada demokrasi.
"Kalau dengar LBP kemudian atau kuasa hukumnya mengatakan bahwa kami adalah individu yang memiliki hak, tetapi yang dikritik oleh Fatia justru LBP sebagai pejabat publik," tegas Asfinawati.