REPUBLIKA.CO.ID, BERN -- Masyarakat Swiss mendukung pernikahan sesama jenis dalam referendum pada Ahad (26/9). "Pernikahan Untuk Semua" diadopsi dengan 64,1 persen suara mendukung, menurut kantor Federal untuk Statistik Swiss. Tidak ada satu pun dari 26 kanton Swiss yang memberikan suara menentangnya.
Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter mengatakan pemerintah federal menyambut baik keputusan ini. Menurutnya negara seharusnya tidak mendikte bagaimana orang harus mengatur kehidupan pribadi mereka.
"Dewan Federal akan segera melaksanakan kehendak rakyat. Menurut perencanaan saat ini, ketentuan baru dapat mulai berlaku pada 1 Juli 2022. Pasangan sesama jenis mungkin akan dapat menikah di Swiss mulai saat ini," ujar Keller- Sutter dilansir Euronews, Senin (27/9).
Dia juga mencatat pasangan wanita yang sudah menikah harus dapat memanfaatkan donasi sperma yang diatur secara hukum. Hasilnya sebagian besar sejalan dengan jajak pendapat yang dirilis menjelang pemungutan suara, yang menunjukkan bahwa 63 persen pemilih di negara Alpine yang kaya tersebut mengatakan 'ya' untuk reformasi kebijakan ini.
Swiss adalah salah satu negara Eropa Barat terakhir yang masih melarangnya. Pernikahan sesama jenis pertama kali disetujui di Eropa di Belanda 20 tahun lalu.
Dua puluh tahun sejak pernikahan gay pertama, perjuangan untuk hak-hak di Eropa terus berlanjut. Akan tetapi kampanye di Swiss, yang mengadu aktivis LGBT melawan lawan konservatif, sangat terpolarisasi.
Baca juga : Anggota Parlemen Palestina Dibebaskan dari Penjara Israel
"Ketika Anda difavoritkan untuk menang, bahayanya adalah orang-orang yang mendukung reformasi mengalami demobilisasi dan tiba-tiba, kubu lawanlah yang menang. Orang-orang dengan hak pilih menggunakannya," kata Olga Baranova, yang mengelola kampanye "Pernikahan Untuk Semua".
Berbicara sebelum referendum, Thierry Delessert, seorang sejarawan di University of Lausanne yang mengkhususkan diri dalam masalah LGBT di Swiss, mengatakan suara 'ya' akan menjadi signifikansi besar. "Hingga awal 2020-an, yang mendominasi adalah wacana kesetaraan yang dibedakan," kata pakar itu.
"Namun pernikahan berarti kesetaraan penuh. Orang-orang LGBT diakui sebagai warga negara yang setara dengan warga negara lain, tidak hanya setara dengan hak yang lebih sedikit atau hak tertentu," tambahnya.
Akan tetapi para penentang khawatir tindakan itu dapat mengikis nilai-nilai keluarga tradisional. "Pernikahan dan keluarga terkait erat karena anak-anak lahir secara alami hanya dari penyatuan seorang pria dan seorang wanita," kata komite antarpartai
" 'Tidak' untuk pernikahan bagi semua," tegasnya.