REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China telah membatasi jumlah aborsi yang dilakukan untuk tujuan non-medis. Dewan Negara menerbitkan aturan baru tersebut pada Senin (27/9).
Dilansir Aljazirah, Selasa (28/9), Dewan Negara mengatakan, pedoman baru akan bertujuan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan pra-kehamilan. China telah memberlakukan langkah-langkah ketat yang bertujuan untuk mencegah aborsi selektif jenis kelamin.
Otoritas kesehatan pada 2018 memperingatkan bahwa penggunaan aborsi untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan, sangat berbahaya bagi tubuh perempuan dan berisiko menyebabkan kemandulan. Data Komisi Kesehatan Nasional menunjukkan antara 2014 dan 2018, telah terjadi rata-rata 9,7 juta aborsi per tahun. Jumlah tersebut naik sekitar 51 persen dari rata-rata 2009-2013, meskipun ada relaksasi kebijakan keluarga berencana pada 2015. Data itu tidak merinci berapa banyak jumlah aborsi adalah untuk alasan medis.
Tidak diketahui apakah batasan aborsi tersebut merupakan langkah China untuk mengatasi penurunan tingkat kelahiran. Para ahli dan peneliti kebijakan mengatakan, pengendalian angka kelahiran diidentifikasi sebagai salah satu tantangan kebijakan sosial utama China dalam beberapa dekade mendatang.
China tetap menjadi negara berpenduduk terpadat di dunia. Sensus terakhir menunjukkan, pertumbuhan populasi dari 2011 hingga 2020 adalah yang paling lambat sejak 1950-an. Diperkirakan pertumbuhan populasi akan semakin melambat dalam beberapa tahun.
Setelah bertahun-tahun mencoba membatasi pertumbuhan penduduk, Beijing kini menjanjikan kebijakan baru yang bertujuan mendorong keluarga untuk memiliki lebih banyak anak. Pada Juni, China mengizinkan semua pasangan memiliki tiga anak. Kebijakan baru ini dirancang untuk mengurangi beban keuangan dalam membesarkan anak.
Menurut sebuah laporan pada 2005 oleh lembaga think-tank negara, biaya keluarga untuk membesarkan anak di China mencapai 490 ribu yuan. Pada 2020, media lokal melaporkan bahwa biaya telah meningkat hingga 1,99 juta yuan atau empat kali lipat dari 2005.
Sebagian besar ibu tunggal dikeluarkan dari asuransi kesehatan dan pembayaran kesejahteraan sosial. Selain itu, banyak perempuan yang khawatir bahwa melahirkan dapat mengganggu karier dan pekerjaan mereka.