REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingginya biaya produksi gula nasional menjadikan harga gula di Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia. Diperlukan peningkatan efisiensi produksi gula dan peningkatan produktivitas untuk dapat menekan harga gula tanpa mengurangi pendapatan petani tebu.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bustanul Arifin, memaparkan, berdasarkan data International Trade Center tahun 2020, indeks biaya produksi gula di Indonesia mencapai 192 poin. Sementara Brazil, yang juga menjadi negara produsen gula hanya mencatat indeks dengan 100 poin.
"Kita sudah ditengarai indeks biaya produksi yang paling mahal, kita juga menjadi importir gula terbesar di dunia. Tahun lalu impor kita tercatat ada 4,1 juta ton. Melebihi China dan AS," kata Bustanul dalam webinar, Selasa (28/9).
Bustanul mencatat, areal pertanaman tebu tahun lalu tercatat turun 2 persen yakni tersisa 416 ribu hektare. Itu berdampak pada penurunan produksi tebu sekitar 3,2 persen menjadi sekitar 27,7 juta ton dan tercermin kepada turunnya produksi gula sebesar 3,6 persen, menjadi hanya 2,1 juta ton. Padahal, rata-rata kebutuhan total gula nasional baik untuk konsumsi maupun industri saat ini mencapai 6 juta ton.
Menurut Bustanul persoalan pada industri gula terjadi baik di level hulu maupun hilir. Pada sisi hulu, usaha tani tebu tidak efisien karena produktivitas yang rendah. Di sisi lain juga terjadi persaingan dengan komoditas pangan lain yang juga menjadi konsentrasi pemerintah.
Adapun di hilir, sebagian besar pabrik gula di Jawa sudah berusia tua dan membuat proses produksi tidak efisien karena teknologi sudah jauh tertinggal. Namun di sisi lain, industri makanan dan minuman dalam negeri terus berkembang pesat. Hal itu mau tidak mau meningkatkan kebutuhan gula yang jalan keluarnya dipenuhi melalui impor gula, termasuk gula rafinasi.
Ia menilai, salah satu terobosan yang harus segera dilakukan dengan berinvestasi pada penelitan dan pengembangan pabrik gula. Meliputi perbaikan sistem perbenihan dan pembibitan, bongkar ratoon, serta penyuluhan petani tebu yang lebih tersistematis.
Hal lain yang tak kalah penting, harus ada insentif bagi petani tebu. Saat ini, petani tebu setidaknya harus menunggu selama 10 bulan untuk bisa mengantongi pendapatan. Itu kemudian diperkuat dengan konsolidasi lahan petani menjadi 5 hektare untuk mencapai skala keenomian.
"Harus ada sistem pembiayaan petani tebu yang mendukung cashflow menjadi 2-3 bulan dan konsolidasi lahan untuk meningkatkan produktivitas," kata dia.