REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Kepala Eksekutif Bank Islam Afghanistan, Syed Moosa Kaleem Al-Falahi, menyatakan sistem perbankan Afghanistan hampir ambruk. Industri keuangan negara itu berada dalam cengkeraman krisis eksistensial karena pelanggan panik.
"Ada penarikan besar-besaran yang terjadi saat ini. Hanya penarikan yang terjadi, sebagian besar bank tidak berfungsi, dan tidak memberikan layanan penuh," kata Al-Falahi dikutip dari BBC, Selasa (28/9).
Ekonomi Afghanistan sudah goyah bahkan sebelum Taliban mengambil alih kendali pada Agustus. Menurut Bank Dunia, negara ini sudah sangat tergantung pada bantuan asing dengan sekitar 40 persen dari produk domestik bruto (PDB) berasal dari bantuan internasional.
Tapi sejak pengambilalihan Taliban, Barat telah membekukan dana internasional, termasuk aset yang dapat diakses Afghanistan dengan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Al Falahi mengatakan, kondisi ini mendorong Taliban untuk mencari sumber lain dari dukungan keuangan.
"Mereka menantikan China dan Rusia, dan beberapa negara lain juga... sepertinya cepat atau lambat mereka akan berhasil berdialog," kata Al Falahi.
Baca juga : Krisis Keuangan, Ethiopia Tutup Kedubes di Mesir
China telah berbicara tentang keinginannya untuk membantu membangun kembali Afghanistan dan bekerja dengan Taliban. Sebuah editorial baru-baru ini di media milik pemerintah China, Global Times, mengatakan ada potensi besar untuk kerja sama dalam membangun kembali Afghanistan dan China jelas merupakan pemain terkemuka.
Hanya saja Taliban berada di bawah tekanan untuk memperbaiki masalah ekonomi Afghanistan sekarang. Inflasi melonjak, dengan mata uang negara anjlok dan orang-orang putus asa karena banyak yang kehilangan pekerjaan dan kekurangan uang.
Program Pangan Dunia PBB telah memperingatkan bahwa hanya 5 persen rumah tangga di Afghanistan yang cukup makan setiap hari. Setengah dari mereka yang disurvei mengatakan kehabisan makanan setidaknya sekali dalam dua minggu terakhir.
Dapat mengakses dana internasional dan bantuan asing adalah kunci untuk kelangsungan hidup Afghanistan. Namun, negara-negara seperti AS telah mengatakan bahwa sementara mereka bersedia mempertimbangkan untuk bekerja dengan Taliban dengan beberapa syarat, termasuk perlakuan rezim terhadap perempuan dan minoritas.
Al Falahi menegaskan bahwa meskipun pernyataan dari Taliban bahwa perempuan tidak diizinkan untuk bekerja untuk sementara, perempuan di banknya kembali bekerja. "Ada semacam ... ketakutan di antara para perempuan, mereka tidak datang ke kantor, tetapi sekarang secara bertahap mereka mulai datang ke kantor," katanya.