Rabu 29 Sep 2021 09:17 WIB

Taliban akan Adopsi Konstitusi Era Monarki Afghanistan

Adopsi konstitusi akan ada pengecualian yang bertentangan dengan hukum Syariah

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Bendera Taliban berdiri di dalam Pusat Media dan Informasi Pemerintah di Kabul, Afghanistan, Selasa, 21 September 2021.
Foto: AP/Bernat Armangue
Bendera Taliban berdiri di dalam Pusat Media dan Informasi Pemerintah di Kabul, Afghanistan, Selasa, 21 September 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Taliban akan mengadopsi versi modifikasi dari konstitusi yang digunakan pada masa pemerintahan monarki raja terakhir Afghanistan, Mohammed Zahir Shah. Menteri Kehakiman Abdul Hakim Syariah mengatakan, adopsi konstitusi akan ada pengecualian dalam kasus yang bertentangan dengan hukum Syariah.

Dilansir Sputnik News, Rabu (29/9), konstitusi Mohammed Zahir Shah diadopsi pada 1964, dan tetap berlaku sampai 1973, ketika raja digulingkan dalam kudeta dan negara berubah menjadi otokrasi satu partai. Konstitusi 1964 dirancang oleh warga Afghanistan yang berpendidikan di luar negeri.

Baca Juga

Konstitusi tersebut menampilkan undang-undang yang memberikan hak untuk semua warga negara. Di antaranya hak-hak perempuan, parlemen yang dipilih melalui hak pilih universal, hukum yang disahkan oleh parlemen di atas hukum Syariah, dan ketentuan untuk secara bertahap mengubah monarki menjadi demokrasi konstitusional yang fungsional. 

Konstitusi Shah digantikan oleh undang-undang dasar baru pada 1976 di bawah rezim Mohammed Daoud Khan. Dua konstitusi kemudian diberlakukan oleh pemerintah komunis Afghanistan, masing-masing pada 1987 dan 1990. Konstitusi tersebut menjamin hak individu yang sama, yang digariskan dalam undang-undang dasar tahun 1964.

Ketika Taliban berkuasa di Afghanistan pada 1990an, mereka menyusun konstitusi tetapi tidak pernah meratifikasi undang-undang dasar baru. Dokumen konstitusi tersebut menyerukan pemusatan kekuasaan di tangan seorang pemimpin tertinggi. Kemudian Dewan Islam sebagai legislatif, pelaksana undang-undang dan kebijakan.  

Baca juga : Potensi Taliban Akses Senjata Nuklir Sejak Berkuasa Terbuka?

Dewan Islam akan dipimpin oleh menteri dari kalangan Muslim Sunni, yang menjadi agama resmi negara. Hal ini secara efektif mengabaikan 15 persen penduduk Afghanistan yang merupakan Muslim Syiah. Dokumen konstitusi tersebut menekankan bahwa tidak ada hukum yang dapat bertentangan dengan hukum Syariah. Kuasi-konstitusi berjanji untuk menjamin kebebasan berekspresi, hak perempuan atas pendidikan, dan hak atas pengadilan yang adil.  

Namun dalam praktiknya, pemerintahan Taliban yang berkuasa pada era 1990-an sangat represif. Mereka melarang televisi dan musik, termasuk mengharuskan seluruh perempuan mengenakan burqa dan didampingi kerabat laki-laki jika keluar rumah. 

Taliban juga melarang perempuan untuk bekerja atau pergi ke sekolah. Wilayah di bawah kendali Taliban menyaksikan eksekusi publik untuk sejumlah tindam kejahatan, mulai dari perzinahan hingga kemurtadan. Taliban juga menerapkan hukum potong tangan terhadap pencuri.

Sebuah konstitusi baru dirancang pada  2004, setelah AS dan NATO menginvasi Afghanistan pada 2001. Konstitusi itu terdiri dari 162 pasal, dokumen yang disediakan untuk presiden dan parlemen terpilih, dan termasuk ketentuan di mana setidaknya 64 dari 250 majelis tinggi diisi oleh perempuan. Konstitusi 2004 menggambarkan Islam tetap sebagai hukum utama, tetapi mengizinkan pengikut agama lain secara bebas menjalankan keyakinan mereka dalam batas-batas hukum. 

Baca juga : Level Kontrol PTM akan Ditambah

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement