REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER--Guru Besar Universitas Jember, Achmad Subagio, menyatakan, ketahanan pangan Indonesia terancam terganggu jika terjadi masalah serius di Laut China Selatan (LCS). Pangkalnya, hingga kini masih mengimpor biomassa berupa karbohidrat sebesar 15 juta ton per tahun, yang nyaris setara dengan setengah kebutuhan beras nasional.
"Itu barang (15 juta ton impor karbohidrat) yang tidak mudah untuk kita dapatkan kalau ada problem di Laut China Selatan, impor kita jadi masalah. Anggaplah masalah hanya 5 juta ton, kita dapat dari mana?" ucapnya dalam webinar ngobrol @tempo bertema "Cadangan Strategis Pangan untuk Kekuatan Pertahanan Indonesia", Selasa (28/9).
Karenanya, dia berpendapat, pemerintah harus memasifkan usaha end-to-end dari hulu hingga hilir sejak saat ini. Langkah tersebut diyakini dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut.
Subagio lantas membandingkan dengan perang gerilya pasca-kemerdekaan yang dikomandoi Jenderal Sudirman. Menurutnya, Indonesia mampu menang saat agresi militer Belanda II karena adanya suplai pangan.
"Kalau kita lihat dalam sejarah bagimana Pak Sudirman gerilya, salah satu kesuksesannya, ya, singkong. Beliau mempunyai sistem cadangan pangan strategis berupa oyek, singkong. Lalu didistribusikan rakyat kepada tentara sewaktu pergerakan," jelasnya.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menugaskan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk menggarap proyek lumbung pangan (food estate) di Kalimantan sebagai upaya menjaga ketahanan pangan di luar Jawa. Kemhan memilih komoditas singkong sebagai cadangan logistik strategis (CLS) yang dikembangkan.
Kemhan pada 2020-2021 menargetkan pengembangan CLS dilakukan di lahan seluas 30.000 ha di Kalimantan Tengah (Kalteng). Pengembangan kawasan yang baru dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) baru sekitar 600 ha di Kabupaten Gunung Mas. Sisanya masih berproses di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk perizinan serta Kementerian Keuangan (Kemenku) untuk anggaran.
Pengamat militer Universitas Pertamina, Ian Montratama, menambahkan, kawasan LCS terus memanas hingga kini. Kondisi kian genting seiring adanya kemitraan antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat untuk membangun kapal selam nuklir untuk "Negeri Kanguru" senilai Rp1.425 triliun, yang anggarannya melampaui dana pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) bagi tiga matra TNI plus Polri.
Posisi Indonesia, ungkapnya, sampai sekarang pun belum diketahui, apakah akan netral atau terjerumus ke salah satu kubu. Sayangnya, pertahanan nasional tidak terbangun merata lantaran cenderung terpusat di Sumatra dan Jawa sehingga pulau-pulau terluar berpotensi menjadi proksi.
Meski demikian, Ian berpandangan, Indonesia akan menghadapi ancaman dari musuh yang masuk ke dalam wilayah dengan perang gerilya lantaran menganut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
"Kita harus mampu menyebar kekuatan ke wilayah-wilayah yang sulit dideteksi musuh dan harus didukung kantong-kantong logistik bisa berupa senjata, amunisi, dan pangan," ujarnya.
"Di sini saya lihat 'benang merah' kenapa sektor pertahanan dilibatkan dalam food estate, (untuk) bangun kantong-kantong logistik. Tapi kalau kantong-kantong logistik, kan, seharusnya tidak teridentifikasi dengan mudah, harus tersamar juga," imbuhnya.
Lantaran pengembangan singkong sebagai CLS masuk dalam sishankamrata, bagi Ian, pemerintah berhak tidak mengeksposenya kepada publik ataupun media. Alasannya, bagian dari strategi pertahanan dan menjadi rahasia negara."Tapi, itu akan berbeda kalau itu dibawa ke ketahanan pangan, bagaimana food estate Kemhan dukung (penanganan) krisis pangan, solusi krisis pangan. Itu beda lagi," katanya.