Rabu 29 Sep 2021 18:47 WIB

Komnas HAM Ingin Hidupkan Kembali Pengadilan HAM

Sebanyak 12 kasus pelanggaran HAM masih tarik ulur dengan Jaksa Agung.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Ilham Tirta
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik.
Foto: Prayogi/Republika.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berkeinginan menghidupkan kembali pengadilan HAM di Indonesia yang telah lebih dari 15 tahun mati suri. Hal ini dikarenakan banyak kasus pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini tidak terselesaikan, bahkan berkas penyelidikannya terus menumpuk di Komnas HAM.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengakui kondisi pengadilan HAM Indonesia telah mati suri sejak 2005 lalu. Jasa terakhir pengadilan HAM saat Jaksa Agung dipimpin oleh Marzuki Darusman.

Saat itu, Marzuki Darusman membawa pelanggaran HAM berat ke pengadilan HAM. Walaupun diakui Komnas HAM, hasil vonis pengadilan HAM justru mempertegas adanya imunitas pelanggar HAM.

"Pandangan para ahli dan aktivis HAM hasil pengadilan HAM justru mempertegas imunitas pelanggar HAM. Karena tidak satupun terduga pelaku-pelaku utama itu divonis bersalah, justru sebaliknya divonis bebas. Hanya beberapa terduga pelaku yang dari sipil yang divonis bersalah dan dijatuhi hukuman," ungkap Taufan dalam diskusi "Masa Depan Pengadilan HAM di Indonesia", Rabu (29/9).

Taufan mengakui, saat ini Komnas HAM masih punya 12 berkas hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat sebelumnya. Termasuk ada kasus dari Papua, Aceh, 65-66, dan peristiwa Mei. Termasuk juga yang jarang dibicarakan, kasus dukun santet di Jawa Timur. Karena ini penting karena yang menandai era otoritarian orde baru.

Ia mengatakan, ke 12 kasus pelanggaran HAM tersebut saat ini masih tarik ulur antara Komnas HAM dengan Jaksa Agung. "Kemarin saya baru menandatangani satu surat ke Jaksa Agung lagi untuk kasus Paniai, Papua. Padahal perbincangan kita dengan Presiden Jokowi sebetulnya dalam beberapa pertemuan sudah menemui kata sepakat untuk penyelesaian," ungkap dia.

Penyelesaiannya pun, lanjut Taufan, dilakukan baik dengan cara yudisial maupun non-yudisial. Yakni dengan mempertimbangkan aspek hukum dan aspek kemanusiaan, terutama aspek keadilan bagi korban dan keluarga korban. Tapi hingga saat ini, belum ada langkah yang sangat berarti dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan antara Komnas HAM dan pemerintah.

Hal yang sama juga pertemuan dengan Jaksa Agung maupun pejabat penting mewakili Jaksa Agung. Ia menyebut sampai saat ini belum ada langkah yang kongkrit. Karena itu Komnas HAM merasa perlu terus mendorong dan mendesak, supaya ada langkah kongkrit terutama langkah yudisial terkait 12 kasus kekerasan HAM lain.

"Begitupula dengan hak hak perempuan. Karena dari 12 berkas ini juga perlu dibuka dari perspektif pelanggaran HAM dari perempuan. Karena itulah peran Komnas Perempuan juga penting disini," kata dia.

Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Alrahab menambahkan, Komnas HAM beberapa waktu terakhir berusaha membaca kembali dokumen perjalanan tiga pengadilan HAM yang pernah berjalan sebelumnya, yakni pengadipan terkait Timtim, Tanjungpriok, dan Abepura.

"Saya membaca proses dokumennya sekaligus membaca ulang berkas di Komnas HAM, yang saya lihat kita kalau ingin menjernihkan air di muara tentu hulunya yang harus dijernihkan. Nah 15 tahun ini kita hanya berdebat di muara tanpa melihat hulunya," jelas Amiruddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement