REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Zakat merupakan pondasi sosial yang paling menonjol dalam rukun-rukun Islam. Zakat merupakan bagian dari ibadah dan hak harta, tugas sosial, dan kewajiban sosial yang bernuansa ibadah.
Jamal Muhammad Az Zaki dalam buku Sehat dengan Ibadah menjelaskan bahwa secara bahasa, makna zakat sendiri berasal dari kata az-zakah yang berarti an-numuw dan az-ziyadah (tumbuh dan bertambah).
Dimaksudkan pula sebagai pujian dan kebaikan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat An Najm ayat 32:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ “Falaa tuzakkuu anfusakum.” Atinya: “Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.”
Jika dikatakan ‘zaka al-qadhi as-syuhud’ apabila hakim menjelaskan peningkatan kebaikan-kebaikan mereka. Pengertian ini tercermin dalam firman Allah SWT:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Khudz min amwaalihim shadaqatan tuthahirruhum wa tuzakkihim biha.”
Yang artinya, “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.”
Zakat menurut syariat adalah sebagian harta yang ditentukan dan wajib dibayarkan orang yang memiliki nisab (batas minimal kewajiban mengeluarkan zakat) dengan niat untuk didistribusikan pada golongan-golongan tertentu.
Para ahli fiqih menyebutnya dengan kata kerja al-ita, maksudnya adalah menunaikan kewajiban pada harta. Dinisbatkan pula pada sebagian harta dalam jumlah tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada kaum fakir yang berhak mendapatkannya.