Petani menuangkan air ke klakah atau bilah bambu saat proses produksi garam Jono di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah, Rabu (29/9/2021). Produksi garam yang unik dan langka karena bahan bakunya berasal dari air yang didapat dari sumur sekitar dan memiliki rasa yang lebih gurih bila dibandingkan dengan garam laut itu sudah beroperasi pada masa penjajahan Belanda dan dijual dengan harga Rp10.000 per kilogram. (FOTO : ANTARA/Yusuf Nugroho)
Petani menuangkan air ke klakah atau bilah bambu saat proses produksi garam Jono di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah, Rabu (29/9/2021). Produksi garam yang unik dan langka karena bahan bakunya berasal dari air yang didapat dari sumur sekitar dan memiliki rasa yang lebih gurih bila dibandingkan dengan garam laut itu sudah beroperasi pada masa penjajahan Belanda dan dijual dengan harga Rp10.000 per kilogram. (FOTO : ANTARA/Yusuf Nugroho)
Petani mengeruk garam dari klakah atau bilah bambu saat panen garam Jono di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah, Rabu (29/9/2021). Produksi garam yang unik dan langka karena bahan bakunya berasal dari air yang didapat dari sumur sekitar dan memiliki rasa yang lebih gurih bila dibandingkan dengan garam laut itu sudah beroperasi pada masa penjajahan Belanda dan dijual dengan harga Rp10.000 per kilogram. (FOTO : ANTARA/Yusuf Nugroho)
inline
REPUBLIKA.CO.ID,GROBOGAN -- Petani menuangkan air ke klakah atau bilah bambu saat proses produksi garam Jono di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah, Rabu (29/9/2021).
Produksi garam yang unik dan langka karena bahan bakunya berasal dari air yang didapat dari sumur sekitar dan memiliki rasa yang lebih gurih bila dibandingkan dengan garam laut itu sudah beroperasi pada masa penjajahan Belanda dan dijual dengan harga Rp10.000 per kilogram.
sumber : Antara
Advertisement