REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Perempuan mendesak pemerintah untuk menghadirkan kebijakan nasional tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Perkosaan Terhadap Perempuan (SPPTPKTP). Kebijakan tersebut membantu lembaga penegak hukum dan lembaga layanan pemulihan lebih optimal menolong korban perkosaan.
"Untuk KPPPA, segera hadirkan kebijakan nasional tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Perkosaan Terhadap Perempuan agar lembaga gakkum dan lembaga layanan pemulihan dapat lebih optimal dalam kerja sama dan berkoordinasi membantu korban perkosaan," kata Anggota Komnas Perempuan Retty Ratnawati dalam webinar bertajuk "Membangun Layanan Kesehatan Reproduksi Menyeluruh Bagi Perempuan Korban Perkosaan Sesuai dengan CEDAW dan Undang Undang Kesehatan" yang diikuti di Jakarta, Rabu (29/9).
Selain itu masyarakat luas diminta mengawal dan memastikan kebijakan dan akses layanan aborsi aman bagi korban perkosaan segera terwujud. Menurut Retty, sebagian masyarakat masih memandang negatif terhadap perempuan korban perkosaan.
"Masyarakat melihatnya orang itu diperkosa dan semua stigma yang menyalahkan dia apalagi kalau dia hamil," katanya.
Kemudian perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi juga akan mengalami tekanan mental yang berat. "Mereka akan cenderung mendapat kriminalisasi akibat dari larangan melakukan aborsi secara UU dalam KUHP," katanya.
Selain stigma dari masyarakat, korban juga harus mengalami pengalaman traumatik dengan melakukan aborsi dan kehilangan bayinya. Tak hanya itu mereka juga berpotensi mengalami komplikasi akibat obat-obatan dari pelaksanaan aborsi tidak aman.
"Bagi mereka sebagai korban perkosaan ini adalah sesuatu yang sangat berat," katanya. Para korban ini membutuhkan upaya pemulihan yang berkelanjutan sehingga mereka pelan-pelan mampu memulihkan mental dari kekerasan yang terjadi padanya.