REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Sejarawan South Canterbury, Selandia Baru Tom O’Connor mengatakan insiden penembakan masjid Christchurch penting didokumentasikan. Buku yang ia tulis berjudul Our Darkest Day akan segera dirilis meskipun harus ditunda penerbitannya untuk menghormati para korban.
“Saya menyelesaikan buku ini dalam waktu setahun. Kenangan memudar lebih cepat dibandingkan yang dipikirkan orang. Saya tidak akan membiarkan tragedi ini dilupakan,” kata O’Connor.
Our Darkest Day berfokus pada peristiwa 15 Maret 2019 di mana 51 orang tewas dalam serangan penembakan di dua masjid Christchurch. Dalam bukunya dijelaskan latar belakang dan alasan peristiwa itu terjadi. Beberapa tokoh penting juga berkontribusi, seperti ahli ekstremisme sayap kanan dan komunitas Islam di Selandia Baru.
Dilansir Stuff, Kamis (30/9), salah satu tantangan utamanya adalah menemukan orang yang tepat untuk diajak bicara. Sebagai bagian dari penelitiannya, O'Connor memiliki akses ke manifesto penembak masjid. Dia mendapat dispensasi khusus dari Kepala Sensor David Shanks.
“Saya mendapat izin menggunakan kutipan manifesto untuk menjelaskan beberapa motivasi di balik tragedi tersebut. Di sebagian besar agama besar, Anda memiliki ekstremis seperti penembak. Saya pikir dia adalah orang yang benar-benar membutuhkan bantuan sejak lama,” ujar dia.
Perilisan buku tersebut datang pada saat produksi film yang diusulkan tentang tragedi itu, They Are Us ditunda karena protes publik. Meskipun setelah serangan masjid masyarakat Selandia Baru tampaknya berubah, rasialisme, kefanatikan, dan intoleransi akan selalu ada.
“Kami sama rentannya seperti sebelumnya. Kami sama sekali tidak memiliki cara untuk menghentikan teroris untuk melakukan sesuatu yang mengerikan lagi,” ucap dia.
O'Connor senang dengan kesediaan beberapa orang untuk diwawancarai dan membantunya dalam penulisan buku, mulai dari eks Komisaris Polisi Mike Bush hingga perwakilan komunitas Muslim Selandia Baru. Bukunya akan dirilis ke publik pada Sabtu nanti dan akan tersedia secara daring melalui situs tomoconnor.co.nz.
“Kami akan berdamai dengan masa lalu, tapi kami tidak akan pernah melupakannya,” tambahnya.