REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Harga opium telah naik tiga kali lipat di Afghanistan sejak Taliban merebut kekuasaan di negara itu. Kelompok militan ini menguasai ibu kota Afghanistan pada pertengahan Agustus lalu.
Di antara sinyal yang dikirim ke komunitas internasional, Taliban menyatakan Afghanistan tidak akan lagi memproduksi narkotika. Dilansir di Euronews, Rabu (29/9), disebutkan, hal ini menyebabkan harga melonjak.
Di sebuah pasar di Afghanistan selatan, Amanullah (bukan nama sebenarnya) dan rekannya Mohammad Masoom tahu bahwa mereka bisa mendapatkan harga yang bagus untuk batch terbaru opium.
Opium yang mereka jual adalah murni. Mohamad menjelaskan, mereka seharusnya bisa mendapatkan 17.500 rupee Pakistan (PKR) per kilo, atau sekitar 90 euro.
Beberapa kilometer jauhnya, masih di provinsi Kandahar, Zekria (bukan nama sebenarnya) mengkonfirmasi lonjakan harga baru-baru ini. Petani ini sekarang menjual opiumnya, yang kualitasnya lebih baik daripada milik Mohammad, dengan harga lebih dari 25 ribu PKR per kilo, atau sekitar 126 euro. Harga ini jauh melonjak dengan 7.500 PKR pada sebelum Agustus.
Opium kemudian diproses baik di dalam negeri atau di negara tetangga Pakistan dan Iran dan terutama diumpankan ke pasar Eropa. Sejumlah faktor yang mempengaruhi harga opium adalah cuaca, keamanan, gejolak politik, penutupan perbatasan.
Baca juga : Presiden Jokowi Pimpin Upacara Hari Kesaktian Pancasila
Pada tahun 2000, rezim Taliban pertama telah melarang penanaman opium sebagai haram. Namun, tahun demi tahun, produksi opium Afghanistan tetap sangat tinggi. Pada tahun 2020, negara tersebut, pembudidaya opium top dunia, memproduksi 6.300 ton pada 224 ribu hektar, menurut PBB.
Produksi tersebut menghasilkan pendapatan sekitar 2 miliar dolar AS, di salah satu negara termiskin di dunia. "Kami tahu itu tidak benar, bahwa itu dilarang oleh Islam. Tapi kami harus melakukannya jika tidak, kami tidak dapat mencari nafkah. Di sini kami tidak memiliki air, tidak ada benih, kami tidak dapat menanam banyak lagi," kata Mohammad.
Zekria, yang memiliki keluarga 25 orang untuk diberi makan setuju. "Kami tidak punya pekerjaan lain, tidak ada solusi lain jika masyarakat internasional tidak membantu kami," kata dia.