Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, —Ketika melihat seseorang melakukan kesalahan, atau hal yang tak wajar dalam pandangan kita, spontan kita ingin menegurnya. Apalagi kalau kesalahan itu menyangkut masalah agama.
Tentu ini sesuatu yang positif. Karena memang substansi dari ajaran Islam adalah amar makruf dan nahi mungkar, mengajak pada yang baik, dan mencegah dari yang tidak baik.
Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara kita menegur? Apakah dengan mempermalukan orang yang ditegur di depan orang ramai? Apakah dengan menyakiti perasaannya?
Apakah dengan bahasa yang bisa memancing emosinya? Apakah dengan cara yang tidak membuatnya menyadari kesalahan lalu berusaha memperbaikinya, malah ingin membela diri dan membalas orang yang menegur dengan cara yang lebih kasar?
Dalam masyarakat Minangkabau, ada satu peribahasa yang tak jarang disalahpahami oleh sebagian orang yaitu “Syara’ batilanjang, Adaik basisampiang.” Peribahasa ini berarti bahwa syara’ atau agama mesti disampaikan secara terbuka, transparan dan apa adanya.
Sementara adat disampaikan dengan bahasa-bahasa kiasan, tau jo nan ampek, tau ereang jo gendeang. Sesuatu yang aib dalam budaya Minang kalau seseorang tidak tahu kato mandaki, kato manurun, kata melereang, dan kato mandata.
Hanya saja ada yang menjadikan peribahasa ini sebagai salah satu dalih untuk menegur orang lain dengan bahasa yang kasar dan kalimat yang tajam. Kalau ada yang mengingatkannya untuk menggunakan bahasa yang lebih lunak, ia akan berkata: “Syara’ batilanjang…”.
Akhirnya muncul kesan bahwa dakwah agama itu memang harus keras, tidak menenggang rasa, buka kulit tampak isi. Sehingga tak salah kalau ada yang kemudian menilai bahwa adat lebih sopan dari pada agama. Adat menenggang rasa, sementara agama tidak. Adat tahu jo nan ampek, sementara agama tidak. Tapi benarkah demikian adanya?
Dalam banyak hadits disebutkan, ketika Rasulullah SAWmenegur kesalahan orang lain, beliau lebih sering menggunakan kalimat:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ ...“Mengapa ada yang melakukan ini dan ini…”.
Misalnya ketika beliau tahu ada sahabat yang melihat ke atas ketika sholat, beliau menegur hal itu dengan keras dan bersabda:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلاَتِهِمْ “Mengapa ada yang mengangkat pandangan mereka ke langit di dalam sholat?”