REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Febrianto Adi Saputro
Setiap tahunnya menjelang 30 September, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) terus muncul dan menjadi pembicaraan publik. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, ada pihak yang memainkan isu tersebut dengan membawa dua faktor yakni agama (faith) dan ketakutan (fear).
“Isu-isu tentang kebangkitan PKI itu menjadi marak setiap tahunnya ya arena memainkan dua faktor itu yaitu faith dan fear,” ujar Beka dalam acara rilis hasil survei SMRC secara daring, Jumat (1/10).
Dia menuturkan, agama dan ketakutan itu membangkitkan emosi sekaligus membentuk persepsi publik mengenai kebangkitan PKI. Narasi yang kerap dibangun ialah PKI bertentangan dengan agama ditambah ancaman kebangkitannya saat ini.
Menurut Beka, isu kebangkitan PKI menjadi isu politik yang didaur ulang setiap tahun. Hal ini tentu berdampak pada penebalan stigma, trauma, diskriminasi, dan juga segregasi sosial.
“Yang sepertinya terus dipelihara atau dijaga, seolah-olah kemudian ada dua kubu ketika membela korban dan keluarga korban dari tragedi 1965 itu sedang membela PKI dan sebagainya. Itu patut untuk diperlakukan beda,” kata dia.
Beka menyampaikan, dalam hal ini Komnas HAM melindungi korban dan keluarga korban dari permainan isu-isu politik yang membawa PKI. Sebab, dia sendiri menerima cerita dari korban tragedi 1965 di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, atas sikap aparat pemerintahan setempat.
“Korban 1965 itu cerita mereka mau ngaji saja melakukan kumpul bareng antarkorban dan melakukan pengajian, begitu ada aparat desa, aparat kecamatan, mendengar segala macam malah minta bubar. Mereka karena ketakutan lagi dan masih trauma dengan 1965,” tutur Beka.
Untuk itu, dia meminta elite politik memikirkan para korban peristiwa 1965 sebelum memainkan isu kebangkitan PKI. Jika ini terus dilakukan, korban hanya akan mendapat penebalan stigma, menambah trauma, dan diskriminasi yang tidak berhenti.
Adapun, berdasarkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan, mayoritas warga atau 84 persen tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI di Tanah Air. Sedangkan, terdapat 14 persen responden yang setuju adanya kebangkitan PKI saat ini.
Dari 14 persen yang setuju itu, ada 49 persen (7 persen dari total populasi) yang menilai kebangkitan itu sudah menjadi ancaman nyata bagi negara. Namun, ada 24 persen (3 persen dari total populasi) yang menilai ancaman itu sedikit sudah menjadi ancaman bagi negara.
Manajer Program SMRC Saidiman Ahmad dalam acara rilis hasil survei secara daring, Jumat (1/10), menuturkan, isu kebangkitan PKI tidak banyak direspon warga. Dalam enam tahun terakhir (Oktober 2015-September 2021) yang setuju dengan pendapat sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI hanya berkisar 10-16 persen.
Dia memaparkan, berdasarkan kelompok masyarakat, responden yang percaya sekarang sedang ada kebangkitan PKI lebih banyak pada massa pemilih Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (27 persen). Kemudian massa pemilih PKS (34 persen), Gerindra (27 persen), dan Demokrat (26 persen).
Survei menggunakan metode multistage random sampling terhadap 1.220 responden. Responden yang dapat diwawancarai secara valid sebanyak 981 orang. Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka pada 15-21 September 2021. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar kurang lebih 3,19 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.