REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangladesh menjanjikan tindakan tegas terhadap para pembunuh Mohib Ullah di tengah desakan agar pemerintah menyelidiki kasus penembakan pemimpin pengungsi Rohingya itu, Sabtu (2/10).
Mohib Ullah yang berusia 40-an tahun dibunuh oleh sekelompok orang bersenjata di kamp Cox's Bazar, Rabu malam. Dia memimpin salah satu kelompok komunitas terbesar di kota itu sejak 730 ribu lebih Muslim Rohingya melarikan diri dari tindakan sewenang-wenang militer di Myanmar pada Agustus 2017.
"Pemerintah akan mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu. Tak seorang pun bisa menghindar," kata Menlu Bangladesh A.K. Abdul Momen.
Dalam sebuah pernyataan Momen mengatakan kepentingan pribadi berada di balik pembunuhan itu karena Mohib Ullah ingin kembali ke Myanmar. "Para pembunuh Mohib Ullah harus diseret ke pengadilan. Pihak berwenang menangkap tiga pengungsi yang terlibat pembunuhan itu," kata Naimul Huq, petinggi kepolisian di Cox's Bazar, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Mohib Ullah dikenal sebagai seorang moderat yang mengadvokasi pengungsi Rohingya untuk kembali ke Myanmar dan memperjuangkan hak-hak mereka yang tertindas selama puluhan tahun saat mengalami persekusi di negara itu. Dia adalah pemimpin Masyarakat Rohingya Arakan bagi Perdamaian dan Hak Asasi Manusia.
Organisasi tersebut didirikan pada 2017 untuk mendokumentasikan kekejaman terhadap Rohingya di Myanmar dan memberi mereka suara dalam pembicaraan internasional tentang masa depan Rohingya. Namun, figurnya yang populer telah menjadikannya target dari kelompok garis keras yang menginginkan kematiannya.
"Jika saya mati, tak masalah. Saya akan berikan nyawa saya," katanya kepada Reuters.
Pembunuhan itu telah memantik kesedihan dan kemarahan orang-orang di kamp itu, lokasi pengungsian terbesar di dunia. Beberapa orang yang diwawancarai Reuters mengatakan pembunuhan tersebut adalah bukti terbaru kekerasan yang meningkat saat gerombolan bersenjata dan ekstremis berebut kekuasaan di Cox's Bazar.
Dalam video yang beredar di media sosial, saudara Mohib Ullah, Habib Ullah, mengaku menyaksikan pembunuhan itu dan menyalahkan Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan (ARSA), kelompok bersenjata yang aktif di kamp tersebut. "Mereka membunuhnya karena dia pemimpin dan semua orang Rohingya patuh padanya," kata Habib Ullah.
Sebelum menembak, "Mereka mengatakan dia tak bisa jadi pemimpin Rohingya dan tak akan ada pemimpin bagi Rohingya," kata dia.
Reuters tidak dapat memeriksa kebenaran dari kesaksiannya. ARSA mengatakan di Twitter pada Jumat bahwa ia terkejut dan berduka atas peristiwa tersebut dan mengutuk tudingan yang dibuat dari desas-desus dan tak berdasar. Lebih dari satu juta orang Rohingya tinggal di kamp tersebut, sebagian besar mengungsi dari Myanmar selama kekerasan militer pada 2007 yang pernah disebut oleh PBB sebagai tindakan dengan niat untuk melakukan genosida.
Myanmar membantah melakukan genosida. Mereka mengatakan tindakan itu sah dilakukan kepada para pemberontak yang menyerang pos-pos polisi.