REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibnu Athaillah menyampaikan sejumlah hal penting yang berkaitan dengan wirid. Untuk itulah beliau berpesan agar umat Islam tidak meremehkan amalan wirid dalam ibadah sehari-hari.
Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah berkata, “Laa yastahqir al-wirda illa jahulun: al-waaridu yujadu fiddaril-akhirah, wal wirdu yanthawi binthiwaa-I hadzihi ad-daari, wa awlaa maa yu’tanaa bihi maa la yukhlafu wujuduhu, al-wirdu huwa thaalibuhu minka, wal-waaridu anta tathlubuhu minhu, wa aina maa huwa thaalibuhu minka mimma huwa mathlubaka minhu?”.
Yang artinya, “Hanya orang bodoh yang meremehkan wirid. Sesuatu anugerah dari Allah (warid) dapat ditemui hingga hari akhirat, sementara wirid akan terhenti seiring dengan berakhirnya kehidupan dunia ini. Hal yang perlu lebih diutamakan adalah sesuatu yang tak lagi bisa diganti saat di akhirat. Selain itu, wirid adalah sesuatu yang Allah tuntut atasmu, sementara warid adalah sesuatu yang engkau minta dari-Nya. Lalu apa pantas sesuatu yang Allah tuntut atasmu dibandingkan dengan sesuatu yang engkau minta dari-Nya?”.
Dijelaskan anugerah dari Allah (warid) yang dimaksudkan dalam hikmah di atas adalah amal shaleh yang mengisi waktu dan membuat seluruh anggota tubuh menjauhi hal-hal yang dibenci-Nya. Orang bodoh akan meremehkan wirid, padahal di dalamnya terkandung bentuk ubudiyah kepada Allah, rasa hadits bersama-Nya, zikir, pembersihan batin, serta dapat menarik cahaya karunia Illahi.
Ibnu Athaillah menyebut, wirid lebih utama daripada warid. Alasannya, warid merupakan karunia yang masuk ke dalam batin seorang hamba, berupa makrifat Tuhan dan kelembutan jiwa atau cahaya-cahaya yang membuat hati lapang dan bersinar. Oleh karena itu yang mendapat perhatian adalah wujudnya akan sirna. Artinya, seorang hamba akan harus memperbanyak wirid sebelum tertinggal karena dia tidak mungkin mengganti wirid yang hilang dan tertinggal.