Senin 04 Oct 2021 11:54 WIB

Penolakan Masyarakat Adat di Sorong, Korporasi Sawit Melawan

Seketika hutan habis, mereka tak lagi bisa berburu, memanen sagu, atau mengambil kayu

Ketua Adat Kampung Maldofok, Distrik Sayosa, Kabupaten Sorong, Mateus Yempolo (baju putih) berpose bersama keluarganya di depan rumah panggungnya, Selasa (28/9). Mateus menolak hutan adat marganya dijadikan perkebunan sawit.
Foto: Istimewa
Ketua Adat Kampung Maldofok, Distrik Sayosa, Kabupaten Sorong, Mateus Yempolo (baju putih) berpose bersama keluarganya di depan rumah panggungnya, Selasa (28/9). Mateus menolak hutan adat marganya dijadikan perkebunan sawit.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Febryan A

Salmon Malagilik (58 tahun) masih teringat sejumlah pertemuan di hotel mewah di Kota Sorong, Papua Barat, belasan tahun silam. Di sana, sejumlah pejabat membujuknya untuk melepaskan hutan adat marganya kepada korporasi kelapa sawit. Salmon selalu menolak.

Ada yang menolak, ada pula yang menerima. Salmon bilang, sejumlah perwakilan marga menerima tawaran dari sebuah perusahaan sawit pada 2005. Alhasil, marga-marga itu kini kehilangan hutan adatnya karena telah berganti jadi kebun sawit.

Padahal, kehidupan masyarakat adat Suku Moi, suku yang mendiami wilayah Sorong, bergantung pada hutan. Seketika hutan habis, mereka tak lagi bisa berburu, memanen sagu, atau mengambil kayu untuk membangun rumah.  

Di sisi lain, mereka tak dapat imbalan setimpal dari perusahaan. Pendapatan dari hutan masih jauh lebih besar dibanding hasil kebun plasma sawit. "Pokoknya semua ada 14 marga yang jadi korban sawit," kata Salmon di kediamannya di Distrik Klamono, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Selasa (28/9).

Berkaca dari pengalaman marga lain itu, Salmon semakin kukuh menolak hutan adatnya dijadikan kebun sawit. "Kelapa sawit belum saya izinkan karena hutan habis, (tapi) belum ada nampak kesejahteraan buat masyarakat adat," kata perwakilan Marga Malagilik ini.

Oktovina Malagilik (37), anak dari Salmon, mengatakan, pasca 2005, marganya terus menolak rayuan korporasi sawit bukan hanya karena sudah melihat marga lain menderita, tapi juga demi menjaga hutan untuk anak cucu. Jika tanah ulayat dilepaskan kepada korporasi sawit, maka hutan akan rusak. Anak cucunya kelak tak lagi bisa hidup dari hasil hutan. Ia tak ingin disalahkan di kemudian hari.

Kendati terus menolak, ternyata hutan adat Marga Malagilik, yang luasnya disebut sekitar 6.600 hektare (ha), masuk dalam area Izin Lokasi serta Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Izin itu dikeluarkan Bupati Sorong pada 2013.

"Masa mereka sudah ambil (dapat IUP) tanpa koordinasi dengan kami sebagai pemilik tempat," kata Salmon dengan nada suara meninggi.

Baca juga : 3 Strategi Kementerian ESDM Jaga Keandalan Listrik PON Papua

Meski telah mendapat berbagai izin, pihak perusahaan tetap harus mendapat restu dari marga pemilik hutan adat dan memberikan uang kompensasi. Entah karena apa, kata Oktovina, pihak perusahaan tak pernah mendatangi marganya. Kalaupun datang, dia memastikan Marga Malagilik tetap menolak.

Sebanyak 13 marga di Distrik Konhir, Kabupaten Sorong, juga menolak habis-habisan hutan adat mereka dijadikan perkebunan sawit. Alhasil, distrik yang terdiri atas sekitar 1.500 warga itu tetap hijau. Sepanjang jalan tanah menuju distrik tersebut, tampak hutan yang dipenuhi pohon-pohon besar di sisi kiri dan kanannya.

Ketua Dewan Adat Distrik Konhir, Gidion Kilmi, mengatakan, mereka pernah mendapat tawaran dari sebuah perusahaan kelapa sawit pada 2019 lalu. Tapi, semua marga di sana kompak menolak untuk melepaskan hutan adat.

"Wilayah kami, hak ulayat pribumi ini, tidak besar. Hutan adat kami ini petak-petak milik beberapa marga. Kalau perusahaan sudah ambil, kami mau cari makan dan minum di mana?" kata Gidion mengutarakan alasan penolakan.

"Kami tidak tergiur dengan uang seperti masyarakat di distrik lain. Sebab, dengan hutan saja sudah cukup untuk hidup," imbuh Wakil Ketua Dewan Adat Distrik Konhir, Piter Koso, Rabu (29/9).

Marga Malagilik dan 13 marga di Konhir hanya sebagian dari marga Suku Moi yang menolak hutan adat mereka dijadikan perkebunan sawit. Mereka pun berulang kali menyampaikan penolakan itu kepada pemerintah kabupaten. Termasuk kepada Bupati Sorong Johny Kamuru, yang mulai menjabat sejak 2017 lalu. Penolakan itu mulai menampakkan titik terang pada awal 2021.

Baca juga : Pengamat: Duet Airlangga-Ganjar akan Layu Sebelum Berkembang

Korporasi melawan

Pemerintah Provinsi Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI mulai melakukan evaluasi tata kelola perizinan perkebunan sawit sejak Juli 2018. Hasilnya dirilis Februari 2021, yang berujung pencabutan izin sejumlah perusahaan.

Evaluasi itu berlandaskan tiga instrumen kebijakan. Ketiganya adalah Deklarasi Manokwari, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit), dan Rencana Aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) KPK.

Terdapat 24 perusahaan pemegang izin yang dievaluasi. Semua perusahaan itu memiliki konsesi seluas 576 ribu hektare. Dari total luas tersebut, terdapat 383.431 ha yang bervegetasi hutan, sehingga masih bisa diselamatkan.

Berangkat dari hasil evaluasi itu, sebanyak 14 perusahaan dengan total luas konsesi 335.241 ha, dicabut izinnya pada April 2021. Luasnya setara dengan lima kali luas Provinsi Jakarta.

Empat perusahaan di antaranya berada di Kabupaten Sorong. Mulai dari PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Cipta Papua Plantation (CPP), PT Papua Lestari Abadi (PLA), dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Bupati Sorong mencabut Izin Lokasi, Izin Lingkungan, dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) empat perusahaan tersebut.

Dalam dokumen Laporan Hasil Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Papua Barat, diketahui izin empat perusahaan itu dicabut karena tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera dalam IUP. Dua di antaranya adalah tidak mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU) dan belum melakukan penanaman sawit.

"Izin dikeluarkan ada yang 35 ribu ha, ada yang 40 ribu ha, tapi eksistingnya (sawit yang ditanam) tidak ada sama sekali," kata Bupati Johny Kamuru, Rabu (29/9).

Baca juga : Jokowi Belanja di Pasar Sota, Pedagang: Gembira Sekali

Kendati belum melakukan penanaman, tapi tutupan hutan di areal IUP empat perusahaan itu sudah berkurang drastis. Kembali mengutip dokumen hasil evaluasi, dari total 105 ribu ha area konsensinya, tutupan hutan hanya tersisa 56 ribu ha.

Menurut John, pencabutan ini tepat dilakukan sebagai momentum mengembalikan hutan kepada masyarakat adat. Baginya, pencabutan ini adalah sebuah kemenangan bagi masyarakat adat Suku Moi karena sudah bertahun-tahun menolak perkebunan sawit.

"Hutan yang sudah kita cabut ini akan kita kembalikan untuk hutan adat sesuai prosedur yang ada," kata Johny, yang mengaku hutan adat marganya turut masuk konsesi perusahaan sawit.

Tapi, kemenangan masyarakat adat Moi terpaksa ditunda. Sebab, tiga perusahaan tak terima dengan pencabutan itu dan melakukan perlawan. PT IKL, PT PLA, dan PT SAS menggugat Bupati Sorong ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, Agustus 2021.

Republika.co.id mencoba meminta tanggapan PT SAS dan PT PLA dengan mendatangi alamat kantor keduanya di Jalan Gunung Tidar 1A, Kampung Baru, Kota Sorong. Dua perusahaan ini alamatnya sama. Tapi, kantor dua perusahaan itu tak ditemukan. Dua warga Jalan Gunung Tidar mengatakan, memang tak ada kantor dua perusahaan itu di sana.

 

Siap bersaksi

Ketua Koordinator Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Pencegahan KPK, Dian Patria, mengingatkan, semua pihak harus mencermati betul persidangan gugatan yang diajukan tiga perusahaan tersebut. Jika perusahaan itu menang, bukan tak mungkin perusahaan lain juga ikut menggugat.

"Jadi, Sorong ini hanya salah satu. Bukan tidak mungkin, kalau mereka bisa lolos, nanti bisa menjalar ke mana-mana (perusahaan di kabupaten lain ikut menggugat)," kata Dian dalam sebuah webinar pekan lalu.

Persidangan gugatan itu kini masih berlangsung. Tim Kuasa Hukum Pemerintah Sorong mengatakan, para penggugat fokus mempersoalkan prosedur pencabutan izin, selain soal kewenangan dan substansi. Penggugat mengaku tak dilibatkan dalam proses pencabutan izin.

Baik Tim Kuasa Hukum Pemerintah Sorong maupun Bupati John membantah hal itu. "Mereka sudah dilibatkan. Bahkan kita punya bukti surat pemanggilan," kata Johny. "Kita berusaha untuk tidak ada lagi ruang hukum, sehingga kita melakukan proses pencabutan tahap demi tahap."

Oleh karena itu, John optimis bakal menang dalam persidangan. "Saya pikir, kita pasti menang, karena ketentuan pencabutan itu sudah kita penuhi," kata Johny.

Ketua Tim Kuasa Hukum Pemerintah Sorong, Nur Amalia, berharap majelis hakim bertindak adil dan objektif dalam memeriksa dan memutuskan perkara ini. Dia juga meminta dukungan dari akademisi maupun organisasi nonpemerintah berupa amicus curiae.

Tim kuasa hukum juga akan meminta perwakilan masyarakat adat untuk menjadi saksi dalam persidangan. "Sudah ada 30-an marga yang mau menjadi saksi. Mereka bersedia karena memang menolak perusahaan sawit dan ingin hutan dikembalikan ke masyarakat," kata Pieter Ell, anggota Tim Kuasa Hukum Pemerintah Sorong, Jumat (1/10).

Piter Koso, Wakil Ketua Dewan Adat Distrik Konhir, mengaku siap menjadi saksi jika dibutuhkan. Tekadnya sudah bulat untuk menolak korporasi sawit di tanah kelahirannya.

"Kami dari pemilik hak ulayat, kami siap jadi saksi di mana saja, mau di pengadilan manapun," kata Piter dengan raut muka serius.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement