Senin 04 Oct 2021 12:34 WIB

MK Tolak Uji Materi UU BUMN yang Diajukan Serikat Pekerja

Serikat Pekerja Pertamina menggugat Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN ke MK.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Hakim Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (2/8/2021). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan pendahuluan.
Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Hakim Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (2/8/2021). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan pendahuluan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). "Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Jakarta, Senin (4/10).

Sebelumnya, Presiden FSPPB Arie Gumilar mengajukan permohonan uji materi Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945.

Menurut pemohon, negara berpotensi kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak, dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero atau perusahaan milik persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Akan tetapi, MK menimbang, ketentuan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi tersebut tidak meniadakan penguasaan negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara atau menguasai hajat hidup orang banyak.

Dengan demikian, dalam pertimbangan MK juga menyebutkan bahwa privatisasi tidak perlu dikhawatirkan sepanjang bertahan dengan prinsip "tidak menyebabkan hilangnya penguasaan negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara" tersebut.

Selain itu, dalam pertimbangan MK juga menyatakan bahwa anak perusahaan yang berada di bawah persero yang dikelola BUMN akan tetap berada di bawah kendali persero BUMN yang terikat dengan prinsip "privatisasi tidak meniadakan penguasaan negara", salah satunya dengan cara pengaturan penjualan saham yang tetap dapat mempertahankan prinsip penguasaan oleh negara.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, ketiadaan larangan untuk melakukan privatisasi perusahaan milik persero/anak perusahaan persero sebagaimana termaktub dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU Nomor 19 Tahun 2003 tidak menyebabkan negara kehilangan hak menguasai negara.

"Artinya, sejauh dan sepanjang dilakukan dalam koridor dimaksud, norma dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19/2003 tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRITahun 1945. Dengan demikian, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Anwar Usman dalam sidang pleno MK terbuka untuk umum pada Rabu (29/9).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement