REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga perbankan secara tradisional sudah dikenal di Indonesia sejak berfungsinya zona ekonomi pada IX M, yaitu peminjam uang untuk bisnis yang disebut Tumenggung. Peminjaman uang ini terkait dengan keperluan akan modal terutama bagi mereka yang terlibat dalam bisnis cargo dan pelayaran. Kapal mesti disewa dan ABK dibayar di depan.
Tumenggung di Jakarta dapat saingan dari financien atau pinangsia, semacam pebisnis uang yang diselenggarakan orang Yahudi sejak akhir XVI M. Namun Pinangsia tidak mampu geser Tumenggung.
Pada tahun 1828 swasta Belanda mendirikan de Javasche Bank (JB) yang berstatus bank circulair. Setelah Perang Dunia I di masa Mr Fock sebagai Gabernul Gendral JB, statusnya disamakan dengan Gubernur Jenderal Nederlandsch Indie. Wakilnya Ir Gerritzen sebagai pemungut pajak. Ini koreksi pada masa VOC di mana pajak dikorup VOC.
Tahun 1944 Javasche Bank (JB) berstatus bank sentral. Tapi Jepang melarangnya beroperasi. Pada tahun 1946 berdiri Bank Negara Indonesia yang statusnya sebagai bank circulair saja.
Pada waktu Konferensi Meja Bundar di Den Haag 1949 delegasi Indonesia usul agar masalah JB masuk dalam agenda pembahasan. Belanda tolak usul ini karena JB bukan properti kerajaan. Indonesia silahkan langsung berunding dengan JB (percakapan Ridwan Saidi dengan Mr Roem 1974-76).
Perundingan dengan JB berlangsung pada jaman kabinet Sukiman Wiryosanjoyo pada 1950-51. Pihak Indonesia diwakili Mr Syafrudin (Mr Syaf) Prawiranagara. Kemudian muncul Bank Indonesia dengan status bank sentral dengan Mr Syaf sebagai Direksinya yang pertama.
Setiap saya mengamati design uang kertas rupiah selalu digoda tanya, kok ga ada potret Presiden ya?
Pertanyaan ini tentu dapat dijawab asal saja berkas perundingan Mr Syaf dan JB masih ada.