Selasa 05 Oct 2021 05:45 WIB

LBM PWNU Bahas Keturunan Anggota PKI  dalam Perspektif Islam

Anak cucu keturunan PKI tidak menanggung dosa orangtuanya di masa lalu.

Red: Irwan Kelana
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM PWNU) DKI Jakarta menggelar diskusi dan bahtsul Masail bertama  Tabayun dan Islah Kebangsaan: Membincang Keturunan Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Perspektif Islam, Sabtu (2/10).
Foto: Dok NU
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM PWNU) DKI Jakarta menggelar diskusi dan bahtsul Masail bertama Tabayun dan Islah Kebangsaan: Membincang Keturunan Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Perspektif Islam, Sabtu (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM PWNU) DKI Jakarta menggelar diskusi dan bahtsul Masail, “Tabayun dan Islah Kebangsaan: Membincang Keturunan Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Perspektif Islam”. Acara itu diadakan pada Sabtu (2/10), dari pukul 19.00 sampai pukul 23.55 WIB.

Narasumber utama KH  Muhammad Imam Aziz, ketua PBNU dan staf khusus Wakil Presiden Republik Indonesia. Moderator acara KH Mukti Ali Qusyairi (ketua LBM PWNU DKI Jakarta). Adapun pembawa acara adalah Ibu Nyai Izza Farhatin Ilmi.

Diskusi itu dihadiri oleh Dr  KH. Samsul Ma’arif (ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta), KH  Taufiq Damas (katib PWNU DKI Jakarta), KH  Asnawi Ridwan (sekretaris LBM PBNU dan perumus LBM PWNU DKI Jakarta). Mereka adalah  Ibu  Nyai Dallia Hadirotal Qudsiyah, Kiai Ahmad Fuad, Kiai Ali Mursyid, Kiai Ahmad Hilmi, Kiai Saepullah, K  Roland Gunawan, KH  Ahmad Suyuthi, Kiai Agus Hudlori, Kiai Ade Pradiansyah, Kiai Didit Sholeh, Ustadz Fairuz Abadi, Ustadz Azmi Abubakar, dan Ustadz Imam Shobarul Azim. 

Dr KH  Samsul Ma’arif dalam sambutannya menyatakan bahwa “LBM ini sangat bangus merespons persoalan aktual terkait stigma negatif kepada anak keturunan PKI. Padahal Islam menghormati dan mengangkat harkat martabat seluruh umat manusia termasuk keturunannya, sekalipun bisa jadi mereka itu dilahirkan dari orangtua yang pernah melakukan kesalahan.”

KH  Taufiq Dama juga menyatakan, hanya Gus Dur tokoh yang jernih melihat permasalahan ini. NU maupun PKI adalah korban keadaan, sebagaimana dikatakan Gus Dur. “Maka LBM PWNU DKI Jakarta ini bagus sekali mengangkat persoalan dengan narasi yang lebih obyektif, bukan berarti kita pro PKI. Agar kita menatap dengan kepala tegak pada sejarah yang ada, bukan dengan marah dan kecewa, serta melangkah ke depan dengan positif dan optimistis,” ujarnya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Baca juga : Jalan Tengah Bursa Kandidat Ketua Umum PBNU

Menurut KH  Imam Aziz, ada tiga hal yang penting diamati, yaitu Gerakan 30 September, Gerakan mulai 1 Oktober yang disebut dengan Gestok, dan dampaknya. “Peristiwanya hanya terjadi di Jakarta. Akan tetapi dampaknya luar biasa terjadi di seluruh Indonesia. Terjadi penangkapan di mana-mana, dan disebutkan dalam sebuah laporan bisa mencapai 500 ribu sampai 1 juta jiwa yang meninggal, sedangkan yang dipenjara tanpa proses pengadilan bisa lebih dari 1 juta,”  paparnya.

Berdasarkan penelitian dan advokasi Kiyai Imam Aziz menyatakan, bukan ‘benturan’ akan tetapi yang terjadi adalah ‘dibenturkan’ antara masyarakat, antara  ormas Islam dengan orang-orang PKI. “Algojo dalam pembunuhan tidak mungkin terjadi kecuali oleh seorang yang terlatih atau seorang yang dilatih. Dan tidak mungkin dilakukan oleh para kiyai atau masyarakat biasa yang tidak dilatih. Sebab para kiyai tidak mungkin melakukan peperangan karena tidak dalam keadaan perang, dan kalaupun keadaan perang ada aturan-aturannya, serta di mana-mana banyak dijumpai fakta para kiyai melarang umatnya membunuh orang-orang PKI bahkan melindungi agar tidak diserang,”  tuturnya. 

Kiyai Mukti Ali Qusyairi (ketua LBM PWNU DKI Jakarta) dan moderator menjelaskan, tema ini penting didiskusikan sesuai dengan momentum September-Oktober masyarakat Indonesia ramai membicarakan peristiwa memilukan yang pernah terjadi, G 30 S PKI. Selain itu, Gus Dur sudah memulai dengan ide rekonsiliasi dan ditindaklanjuti KH  Imam Aziz dengan mendirikan Syarikat  (Santri untuk Advokasi Masyarakat) Indonesia yang konsen advokasi dan upaya mewujudkan rekonsliasi antar keturunan PKI dan masyarakat muslim, khususnya warga Nahdliyyin. Akan tetapi perspektif keagamaan dalam level Bahtsul Masail belum digelar. “Karena itu bahtsul masail yang diadakan LBM PWNU DKI Jakarta ini untuk mengisi kekosongan tersebut.” Kata Mukti Ali.

Dalam forum webinar, para kiyai dapat menjawab dua pertanyaan penting, yaitu: apakah anak cucu keturunan anggota PKI ikut memikul beban dosa dan kesalahan orangtuanya? Bagaimana hukumnya menstigma negative kepada keturunan PKI?

Para kiyai merumuskan jawaban keagamaan yang pertama, bahwa anak cucu keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak terbebani dan tidak menanggung dosa dan kesalahan orangtuanya di masa lalu. Sebab, menurut Kiai Ali Mursyid, dalam pandangan Islam tidak ada dosa turunan. Sebagaimana dalam QS al-Fathir:18, “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.

“Berdasarkan penjelasan seluruh kitab tafsir Alquran dikatakan bahwa dosa setiap orang akan dipikul oleh dirinya masing-masing. Sehingga dosa orangtua akan dipikul oleh orangtua itu sendiri, dan dosa anak akan dipikul oleh anak sendiri. Dosa orangtua tidak dibebankan kepada anaknya,” ujarnya.

Selain itu juga, menurut Kiai Ahmad Hilmi, setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, fitrah. “Hal ini sebagaimana dikatakan dalam hadis “setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih dari dosa),” tuturnya.  

Untuk persoalan kedua, KH  Asnawi Ridwan memberikan rumusan jawaban, tidak boleh memberikan label atau stigma negatif kepada anak cuku keturunan dan para penyintas PKI yang tidak mewarisi ideologi komunis. “Karena,  penyematan ‘anak PKI’ dan panggilan negatif sejenisnya yang mengandung ejakan sangatlah menyakitkan dan menyinggung perasaan serta pembunuhan karakter seseorang yang diharamkan dalam pandangan Islam,” ujarnya memberikan alasan.

Hal ini, kata dia,  berdasarkan QS al-Hujuraat: ayat 11, “dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan”, dan ayat 12, “dan janganlah menggunjing satu sama lain.”

Baca juga : Pencemaran Teluk Jakarta Diduga Akibat Limbah Obat

Kiai Asnawi juga menambahkan penjelasan Imam An-Nawawi di dalam kitab al-Adzkar yang menyatakan bahwa para ulama bersepakat atas keharaman menyematkan julukan buruk kepada anak karena sifat buruknya ayah atau ibunya. “Di samping itu, stigma negatif kepada seseorang termasuk melanggar HAM (Hak Asasi Manusi) yang dalam perspektif Islam melanggar salah satu tujuan universal syariat Islam yaitu al-hifdzu al-‘irdz (menjaga harga diri),”  kata Asnawi.

Kiyai Mukti Ali Qusyairi pun menguatkan bahwa dalam hadits Nabi pun terdapat larangan para sahabat menstigma negatif terhadap Durroh bin Abu Lahab dan Ikrimah bin Abu Jahal yang kalau itu sudah masuk Islam dan menjadi Muslimah yang taat. Karena keduanya adalah putri seorang tokoh yang semasa hidupnya penentang keras dan memusuhi Nabi Muhammad SAW.

Kiai Agus Hudhori berpendapat bahwa, “Lalu bagaimana seharusnya sikap kita sebagai umat beragama? Kiai Agus lanjut menjawab bahwa, “Sebagai bangsa yang religius dan bertakwa, sikap kita seharusnya segera melakukan rekonsiliasi, melupakan dendam, menahan amarah dan saling memaafkan sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam QS. Ali Imran: 133-134, “…orang-orang yang bertakwa, (yaitu)…orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

Karena itu, Agus Hudhori menegaskan,  anak keturunan PKI yang setia kepada NKRI tidak terbebani dosa dan kesalahan orangtuanya, tidak boleh menstigma negatif kepada mereka, dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara yang lain dalam membangun dan memajukan bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement