REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintahan Presiden Iran Ebrahim Raisi akan melanjutkan pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 dengan negara kekuatan dunia pada awal November. Namun, Teheran belum memberi penjelasan terperinci mengenai hal tersebut.
“Pemerintah Ebrahim Raisi telah berkuasa kurang dari 55 hari. Saya tidak berpikir bahwa (kembali ke pembicaraan) akan memakan waktu hingga 90 hari,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh pada Senin (4/10), dikutip laman Al Arabiya.
Saat ini, Iran dan Amerika Serikat (AS) masih terlibat dalam pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Namun, pembicaraan yang sudah berlangsung beberapa putaran di Wina, Austria itu tengah terhenti. Hal itu karena Iran memiliki presiden baru, yakni Ebrahim Raisi.
JCPOA disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta Cina. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran dicabut.
Namun, JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan.
Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.