Selasa 05 Oct 2021 08:44 WIB

Dradjad Sarankan Pemerintah Jangan Bergantung pada Utang

Kebijakan fiskal dan pertumbuhan yang tergantung pada utang harus diubah.

Ekonom Indef Dradjad Wibowo menyarankan pemerintah jangan bergantung pada utang.
Foto: tangkapan layar
Ekonom Indef Dradjad Wibowo menyarankan pemerintah jangan bergantung pada utang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom senior Indef Drajad Wibowo menyarankan pemerintah untuk mengubah haluan fiskal dan pertumbuhan ekonomi, dari terlalu bergantung pada utang menjadi bergantung pada penerimaan lain.

“Jangan lagi tergantung pada utang. Apakah masih ada (penerimaan lain)? Ada. Apakah susah? Iya susah. Tapi masih ada sumber yang masih bisa digali walaupun amat susah,” kata Dradjad dalam pesan suaranya kepada Republika.co.id, Selasa (5/10).

Baca Juga

 

Dijelaskannya, dari sisi rasio utang terhadap PDB memang masih tergolong aman untuk ukuran internasional. Tapi yang bermasalah adalah pembayaran pokok dan bunga sudah terlalu banyak memakan pendapatan negara. “Memakan terlalu banyak pajak,” ungkap Dradjad.

Hal ini, menurutnya, sudah sangat tidak sehat, bahkan tidak aman. Pada 2019 pokok dan bunga utang yang dibayar mencapai Rp.685 triliun.   Artinya sekitar 35 persen dari penerimaan negara habis untuk membayar. Pada 2020, ratio ini naik menjadi 44 persen.

“Kalau dibanding dengan penerimaan pajaknya Dirjen Pajak, rationya menjadi 68 persen. Artinya 2/3 persen pajak kita yang diperoleh dari DJP itu habis untuk membayar pokok dan bunga utang,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini. Kondisi ini, lanjut Dradjad, sudah tidak amandari sisi stabilitas fiskal.

Dari sisi pertumbuhan, menurut Dradjad, porsi untuk membayar pokok dan bunga utang tersebut, membuat pertumbuhan menjadi tidak maksimal. Karena uang negara menjadi sedikit untuk mendorong belanja negara melalui pemerintah pusat.

“Sebagian belanja pemerintah pusat harus dialokasikan untuk pendidikan 20 persen, sebagian lagi dialokasikan lagi untuk otonomi daerah. Sehingga ruang fiskal untuk mendorong pertumbuhan, khususnya melalui belanja pusat yang bisa memicu konsumsi rumah tangga, menjadi sangat terbatas,” papar ekonom senior ini.

Konsekuensi lain dari besarnya utang, menurut Dradjad, jika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan, maka mau tak mau pemerintah harus menambah utang lagi. “(Tambahan utang ini) untuk membayar utang ataupun membuka ruang fiskal. Bagi saya ini sudah tidak sehat, karena bajet kita maupun pertumbuhan kita menjadi sangat tergantung pada utang,” kata Dradjad.

Dradjad mengingatkan, beban yang dialamipada 2019 maupun 2020, terjadi karena tahun-tahun sebelumnya. Jika saat ini uang terlalu tinggi, maka pada tahun-tahun mendatang rasio antara pembayaran utang dan penerimaan negara menjadi sangat besar. 

“Ini efeknya akan sangat panjang. DI sisi lain, kita melihat situasi ekonomi dunia masih labil, dan itu akan membuat utang bisa menjadi salah satu faktor risiko untuk stabilitas fiskal,” paparnya.

Dradjad menyarankan pemerintah harus mengubah haluan fiskal dan pertumbuhan ekonomi, dari terlalu bergantung pada utang  menjadi bergantung pada penerimaan lain. “Saran ini simple tapi susah untuk melaksanakannya,” kata Dradjad.

Terlebih penerimaan lain ini, juga jangan sampai mengganggu pelaku usaha. "Jika menggali penerimaan dengan mengganggu pelaku usaha semua orang bisa. Tapi kita harus cerdas membuat skema-skema mencari sumber penerimaan yang tidak mengganggu pelaku usaha,” ungkap Dradjad.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement