Selasa 05 Oct 2021 11:19 WIB

Penjelasan Ketum MUI Soal Hukum Ibadah dan Muamalah

Hukum ibadah dan muamalah dijelaskan ketua umum MUI.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Penjelasan Ketum MUI Soal Hukum Ibadah dan Muamalah. Foto:   Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia  KH Miftachul Akhyar (kanan) memeragakan penggunaan alat deteksi Covid-19 GeNose disaksikan Menteri Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro (kiri) di Jakarta, Kamis (18/3). Penyerahan alat GeNose tersebut diharapkan mampu mendeteksi Covid-19 di lingkungan MUI dan kedepannya dapat digunakan di masjid-masjid guna mengantisipasi potensi penyebaran Covid-19. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Penjelasan Ketum MUI Soal Hukum Ibadah dan Muamalah. Foto: Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Miftachul Akhyar (kanan) memeragakan penggunaan alat deteksi Covid-19 GeNose disaksikan Menteri Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro (kiri) di Jakarta, Kamis (18/3). Penyerahan alat GeNose tersebut diharapkan mampu mendeteksi Covid-19 di lingkungan MUI dan kedepannya dapat digunakan di masjid-masjid guna mengantisipasi potensi penyebaran Covid-19. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Miftachul Akhyar, mengingatkan, ajaran Islam ruang lingkupnya tidak hanya hubungan manusia dengan Allah SWT, tetapi mencakup hubungannya dengan sesama manusia dan alam semesta.

"Hubungan manusia dengan Allah SWT diatur dalam bentuk hukum-hukum tentang ibadah, hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya diatur dalam tata hukum muamalah," kata Kiai Miftachul saat membuka Workshop Pra Ijtima Sanawai Dewan Pengawas Syariah (DPS) 2021, Senin (4/10).

Baca Juga

Kiai Miftachul menerangkan, hubungan yang menyangkut ibadah diatur dengan nash-nash yang qath'I (jelas dan pasti). Sebab, tidak menyentuh kepentingan lahiriah manusia dan bersifat ghair ma’qul ma’na, artinya tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia.

Oleh karena itu, ia menerangkan, hal itu harus diterima apa adanya sebagaimana telah ditentukan oleh nash itu sendiri. Artinya manusia tidak dapat menentukan bentuk ibadah lain, selain yang telah ditentukan oleh nash.

"Ini sering dinamakan juga bahwa hukum dalam ibadah bersifat ta’abbudi atau manusia tidak diberi wewenang untuk mengembangkan atau memperbaharuinya," ujar Kiai Miftachul, dilansir dari laman resmi MUI.

Ia menjelaskan, mengenai nash-nash dalam bidang muamalah, sebagian besar nash-nash tersebut bersifat zhanni (tidak pasti). Karena mengandung prinsip-prinsip umum tentang hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Baca juga : Covid-19: Azab atau Musibah?

"Nash-nash dalam bidang muamalah sebagian besar berupa nash yang zhanni dan berupa prinsip-prinsip umum,” ujarnya.

Kiai Miftachul mengingatkan, maka ada peluang bagi manusia untuk melakukan ijtihad. Karena kandungan dalam bidang muamalah merupakan sesuatu yang dapat dijangkau dan dianalisis oleh pikiran manusia (ma’qul ma’na).

"Dalam bidang muamalah terdapat peluang bagi manusia untuk melakukan pembaruan, sejalan dengan sifat sosial yang tidak terlepas dari perubahan," jelasnya.

Ia menegaskan, maka kegiatan ekonomi, keuangan, dan bisnis yang merupakan bagian dari fiqih muamalah maliyah, peran ijtihad menjadi bagian yang sangat penting. Secara umum, ijtihad dapat dikatakan sebagai upaya berpikir secara optimal dan sungguh-sungguh dalam menggali hukum Islam dari sumbernya, untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement