REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan memanggil 27 perusahaan obat untuk mengusut penyebab pencemaran Teluk Jakarta oleh kandungan paracetamol. Semua perusahaan itu akan dipanggil dalam bulan ini.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya, Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan, pihaknya belum memiliki laporan ataupun bukti bahwa pencemaran Teluk Jakarta berasal dari limbah perusahaan farmasi. Untuk itu, pihaknya akan memanggil 27 perusahaan farmasi yang ada di Jakarta.
"Jadi, rencananya memang akan kami panggil dan akan dicek bagaimana melakukan pengelolaan limbahnya," kata Rosa dalam konferensi pers daring, Selasa (5/10).
Pihaknya juga akan meminta keterangan perusahaan farmasi terkait metode pengelolaan obat-obatnya yang sudah kadaluarsa. Sebab, obat kedaluarsa termasuk limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) dan harus dikelola sesuai ketentuan.
Rosa menyebut, 27 perusahaan itu akan dipanggil dalam dua pekan ke depan. Selain itu, Rosa juga akan membuat tim khusus untuk menindaklanjuti temuan pencemaran Teluk Jakarta ini. Tim in akan membahas penelitian yang menemukan pencemaran di Teluk Jakarta dan menentukan kebijakan yang akan dibuat selanjutnya.
Kendati demikian, Rosa menyebut, parasetamol tidak termasuk ke dalam standar baku mutu lingkungan. Artinya, parasetamol tidak menjadi ukuran unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Dia juga menyebut bahwa konsentrasi parasetamol di Teluk Jakarta terbilang kecil.
Diketahui, penelitian LIPI menemukan adanya kandungan parasetamol konsentrasi tinggi di Teluk Jakarta. Di perairan di kawasan Angke, kandungan parasetamolnya sebanyak 610 nanogram per liter (ng/L). Sedangkan di Ancol konsentrasi parasetamolnya 420 ng/L.
Konsentrasi pencemaran parasetamol di Teluk Jakarta lebih tinggi ketimbang Pantai di Brazil dan Portugal. "Konsentrasi parasetamol di Teluk Jakarta adalah relatif tinggi (420-610 ng/L) dibanding di pantai Brazil (34. 6 ng/L), pantai utara Portugis (51.2 - 584 ng/L)," ungkap Zainal Arifin, salah satu anggota tim peneliti dari BRIN, Sabtu (2/10).