Selasa 05 Oct 2021 21:35 WIB

Utusan PM Inggris Temui Jajaran Pemimpin Taliban

Isu bantuan kemanusiaan hingga perlakukan perempuan dan hak minoritas menjadi bahasan

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
 Pasukan Taliban berjaga di pos pemeriksaan pinggir jalan di Kabul, Afghanistan, Kamis (9/10/2021). Taliban menuntut penghapusan para pemimpinnya dari daftar hitam PBB dan AS, dan mengkritik komentar tidak baik yang dibuat terhadap anggota pemerintah baru di Afghanistan.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Pasukan Taliban berjaga di pos pemeriksaan pinggir jalan di Kabul, Afghanistan, Kamis (9/10/2021). Taliban menuntut penghapusan para pemimpinnya dari daftar hitam PBB dan AS, dan mengkritik komentar tidak baik yang dibuat terhadap anggota pemerintah baru di Afghanistan.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Utusan khusus Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Simon Gass, bertemu dengan para pemimpin Taliban di Afghanistan, Selasa (5/10). Mereka membahas tentang krisis kemanusiaan dan cara mencegah Afghanistan menjadi sarang bagi kelompok-kelompok militan.

Pemimpin Taliban yang bertemu Gass antara lain Amir Khan Mutaqqi, Mullah Abdul Ghani Baradar, dan Abdul Salam Hanafi. “(Mereka) membahas bagaimana Inggris dapat membantu Afghanistan untuk mengatasi krisis kemanusiaan, pentingnya mencegah negara itu menjadi inkubator terorisme, dan kebutuhan untuk perjalanan yang aman bagi mereka yang ingin meninggalkan negara itu,” kata Kementerian Luar Negeri Inggris dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga

Dalam pertemuan itu, Gass didampingi Kuasa Usaha Misi Inggris untuk Afghanistan di Doha. “Mereka juga mengangkat perlakuan terhadap minoritas dan hak-hak perempuan serta anak perempuan,” kata Kementerian Luar Negeri Inggris.

Bulan lalu, Utusan Taliban untuk PBB Suhail Shaheen meminta dunia segera mengakui pemerintahan kelompoknya di Afghanistan. “Kami memiliki semua persyaratan yang diperlukan untuk pengakuan pemerintah. Jadi kami berharap PBB sebagai badan dunia yang netral mengakui pemerintah Afghanistan saat ini,” kata Shaheen saat diwawancara Associated Press pada 22 September lalu.

Pada 15 Agustus lalu, Taliban kembali berhasil menguasai Afghanistan. Berbeda dengan sebelumnya, mereka berjanji akan menjalankan pemerintahan moderat. Taliban bahkan berkomitmen untuk melindungi hak-hak perempuan, termasuk untuk memperoleh pendidikan.

Namun saat mengumumkan pemerintahan barunya pada 7 September lalu, dari 33 anggota kabinet, tak ada satu pun perempuan di dalamnya. Berbeda dengan pemerintahan Afghanistan yang baru saja kolaps, Taliban juga tak membentuk kementerian urusan perempuan.

Ketika Taliban berkuasa pada 1996-2001, peran dan gerak perempuan di Afghanistan secara ekstrem dibatasi. Mereka dilarang meninggalkan rumah tanpa pendamping laki-laki. Selain itu, mereka harus mengenakan burqa ketika berada di luar ruangan. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan pun tak ada.

Di pemerintahan terbarunya, hampir semua anggota kabinet adalah anggota Taliban. Sisanya merupakan loyalis kelompok tersebut. Susunan itu melenceng dari janji Taliban sebelumnya yang ingin membentuk pemerintahan inklusif dan representatif.

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement