Selasa 05 Oct 2021 23:21 WIB

Seniman Sejati Harus Bisa Wakili Kepekaan Keadilan Sosial

Sudah seharusnya para seniman jalanan tidak takut untuk menyuarakan hak.

Seniman, termasuk seniman pembuat mural, yang sejati adalah seniman yang dapat mewakili kepekaan atas keadilan sosial (ilustrasi).
Foto: AP/Brian Inganga
Seniman, termasuk seniman pembuat mural, yang sejati adalah seniman yang dapat mewakili kepekaan atas keadilan sosial (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurator seni, Bambang Asrini Widjanarko, mengatakan bahwa seniman, termasuk seniman pembuat mural, yang sejati adalah seniman yang dapat mewakili kepekaan atas keadilan sosial. Menurut dia, seniman mewakili publik. 

"Ada negosiasi mana (karya) yang personal, mana yang komunal. Bahwa seniman yang mewakili publik itu sudah seharusnya," kata Bambang dalam diskusi publik yang digelar Dewan Kesenian Jakarta bertajuk "Mural, Estetika, Etika dalam Perspektif Ekspresi Demokrasi", Selasa (5/10).

Dengan demikian, kata dia, sudah seharusnya para seniman jalanan tidak takut untuk menyuarakan hak kepada para penguasa. Tidak hanya negara, tetapi juga organisasi massa.

Bambang juga mengatakan, ekspresi dalam seni tak bisa dilarang namun bisa direduksi. Bambang lalu menyoroti salah satu karya seorang seniman di Jakarta yang bertuliskan "Aku tak percaya hari akhir, aku percaya Jakarta hujan sedikit pasti banjir." 

Menurut dia, karya tersebut sangat baik karena pesannya dapat ditangkap meski penyampaiannya tidak begitu frontal. "Tentu karya tersebut menggelitik kita dan membuat penguasa juga akan berpikir. Itu yang saya kasih pesan ke teman-teman agar terjadi lobbying yang tidak langsung frontal head to head," ujarnya.

Bambang mengatakan, street art atau seni jalanan pada dasarnya sangat beragam karena adanya pop culture dan ruang-ruang yang beririsan dengan industri, sementara ada keinginan dalam diri seniman untuk tetap anonim. Menurut Bambang, dibutuhkan kedewasaan dalam diri seniman misalnya dengan membuat asosiasi atau kelompok yang kuat untuk bisa bersuara. 

Selain itu, perlu adanya fasilitas dan ruang dialog yang disediakan. "Saya melihat bahwa Undang-undang Pemajuan Kebudayaan belum termanifestasi dalam kelompok-kelompok yang begitu banyak. Itu harus ada progres. Mesti ada ruang untuk terjadinya dialog," ujarnya.

"Saya juga membayangkan Dewan Kesenian Jakarta sebagai institusi kesenian yang memfasilitasi sayembara mural, bukan kepolisian," kata dia.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement