REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2021 akan turun sedikit di bawah perkiraan Juli sebesar 6 persen. Kepala IMF, Kristalina Georgieva mengatakan penurunan proyeksi ini mempertimbangkan risiko yang terkait dengan utang, inflasi, dan tren ekonomi yang berbeda setelah pandemi Covid-19.
Meski ekonomi global bangkit kembali, menurut Georgieva, pandemi terus membatasi pemulihan. Salah satu hambatan utamanya ditimbulkan oleh tingkat kesenjangan vaksinasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses vaksin.
Berdasarkan Outlook Ekonomi Dunia yang baru saja diperbarui, ekonomi negara maju pada tahun 2022 akan kembali ke tingkat pra-pandemi. Namun sebagian besar negara berkembang dan berkembang akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih.
"Kita menghadapi pemulihan global yang masih tertatih-tatih oleh pandemi dan dampaknya," kata Georgieva dikutip Reuters, Rabu (6/10).
Amerika Serikat dan China tetap menjadi mesin pertumbuhan yang vital. Demikian halnya di Italia dan Eropa. Namun, Georgieva menyebut, pertumbuhan di sejumlah negara lainnya masih memburuk.
Tekanan inflasi yang menjadi faktor risiko utama diperkirakan akan mereda di sebagian besar negara pada 2022. Meski demikian, tekanan inflasi masih akan terus mempengaruhi beberapa negara berkembang.
Georgieva memperingatkan bahwa peningkatan inflasi yang berkelanjutan dapat menyebabkan kenaikan suku bunga yang cepat dan keuangan yang lebih ketat. Menurutnya, bank sentral dapat menghindari pengetatan untuk saat ini, tetapi harus siap untuk bertindak cepat jika pemulihan menguat lebih cepat dari yang diharapkan atau risiko kenaikan inflasi terwujud.
Direktur Eksekutif di Jubilee USA Network, Eric LeCompte, mengatakan utang yang tinggi, melonjaknya harga pangan dan kurangnya vaksin adalah ancaman terbesar yang dihadapi negara-negara berkembang. "Kami menghitung kerugian ekonomi dalam triliunan jika negara berkembang tidak dapat mengakses vaksin," kata Eric.