REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Warga Palestina di Jalur Gaza menyerukan pembatalan perjanjian antara Amerika Serikat (AS) dan badan PBB untuk pengungsi Palestina. Mereka menyatakan kesepakatan itu melanggar banyak hak.
Puluhan orang memprotes di depan markas Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada Selasa (5/10). Mereka menyerukan diakhirinya Kerangka Kerja Sama yang merupakan rencana kerja dua tahun yang ditandatangani antara Departemen Luar Negeri AS dan UNRWA.
Mereka meneriakkan slogan-slogan yang mengatakan kerangka kerja membatalkan hak kembali bagi para pengungsi. Para pengunjuk rasa juga memegang spanduk bertuliskan "Kami sepenuhnya menolak kesepakatan antara AS dan UNRWA" dan "Hak untuk kembali konsisten; kami tidak akan menyerah".
Kerangka Kerja Sama adalah kesepakatan yang ditandatangani antara AS dan UNRWA untuk 2021-2022. Kesepakatan itu menyerukan dimulainya kembali dana ke badan pengungsi setelah dihentikan oleh pemerintahan presiden AS Donald Trump.
Melalui kerangka kerja, yang ditandatangani pada Juli, AS membayar UNRWA 135 juta dolar AS dana tambahan. Kerangka itu diklaim akan menjadi ancaman bagi hak pengungsi palestina dan perubahan bagi visi UNRWA.
"Tidak ada kontribusi dari AS yang akan diberikan kepada UNRWA, kecuali dengan syarat,"ujar pengunjuk rasa.
Anggota Senior Jihad Islam Ahmed al-Mudallal mengatakan perjanjian itu ditolak oleh semua badan Palestina karena tidak sejalan dengan pekerjaan umum badan PBB terhadap pengungsi Palestina. "Dengan perjanjian ini, UNRWA akan bertindak sebagai agen keamanan untuk negara bagian AS dengan mengejar karyawan dan pengungsi yang mendapat manfaat dari layanannya," ujarnya.
Pengacara yang berbasis di Gaza, Salah Abdulatti, mengatakan perjanjian itu melanggar perjanjian PBB, Konvensi Pengungsi, serta otoritas badan tersebut. "Badan PBB tidak berhak menandatangani kontrak dengan mengorbankan kepentingan pengungsi dan memberlakukan pembatasan kebebasan berekspresi mereka dengan dalih netralitas," paparnya. Abdulatti menegaskan kerangka tersebut ditandatangani tanpa berkonsultasi dengan Otoritas Palestina (PA) atau badan Palestina lainnya.
Dia menyebut pendanaan untuk UNRWA sebagai bersyarat dan menambahkan langkah itu adalah bentuk pemerasan yang mencolok. "Perjanjian itu akan mengubah badan tersebut dari badan layanan menjadi badan intelijen yang tujuannya adalah memberikan informasi keamanan," ujarnya.
Koordinator Komite Pengungsi Gabungan, Mahmoud Khalaf, mengatakan kerangka kerja tersebut menetapkan mencegah kebebasan berekspresi bagi karyawannya di platform media sosial serta mengganggu kurikulum Palestina. "Tidak seperti perjanjian dengan badan PBB, kurikulum [sekolah] harus sesuai dengan negara tuan rumah dan ini diterapkan selama 73 tahun,” katanya.
Menurut Khalaf, perjanjian itu juga mengharuskan UNRWA untuk memberikan laporan berkala kepada Departemen Luar Negeri AS tentang pekerjaannya serta untuk menanggapi semua pertanyaannya. "Beberapa istilah yang termasuk dalam perjanjian tersebut dikenakan pada visi AS, seperti memerangi terorisme, anti-Semitisme, dan hak-hak perempuan dan lain-lain," katanya.
Khalaf juga meminta kontribusi AS untuk UNRWA bersifat sukarela dan harus tanpa syarat sesuai dengan prinsip-prinsip mandat UNRWA. Komite Pengungsi Gabungan meminta Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini untuk mencabut kesepakatan itu dalam sebuah surat resmi tetapi belum mendapat tanggapan.
Demonstrasi menentang kesepakatan itu akan berlanjut sampai dibatalkan. "Kami menyerukan Otoritas Palestina dan negara tuan rumah UNRWA untuk bergerak membatalkan perjanjian ini dan tidak menerima pendanaan bersyarat dengan mengorbankan hak-hak pengungsi Palestina," kata Khalaf.