REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengakui, sistem perjagungan nasional yang dimiliki pemerintah belum lengkap.
Hal itu menjadi penyebab utama lemahnya intervensi pemerintah ketika terjadi permasalahan kenaikan harga jagung dalam negeri.
Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan, saat ini sistem yang berlaku dalam perdagangan komoditas jagung yakni mengacu pada mekanisme pasar. Dengan kata lain, harga yang terbentuk merupakan cerminan dari situasi penawaran dan permintaan di pasar bebas.
Ketika terjadi ketidakseimbanan pasar, Kemendag bisa melakukan intervensi harga. Patokan dilakukannya intervensi dengan mengacu pada harga acuan pemerintah untuk komoditas jagung.
"Tapi, untuk mengawal ini instrumennya tidak lengkap dan itu akan menjadi mandul manakala tidak ada instrumennya," kata Oke dalam webinar, Rabu (6/10).
Intrumen tersebut, terkait pihak yang bisa melakukan penyerapan jagung maupun menggelar operasi pasar. Oke mengakui, sejauh ini baru beras yang memiliki instrumen lengkap dengan posisi Perum Bulog sebagai badan usaha yang menjadi operator penugasan pemerintah untuk stabilisasi harga.
"Jagung siapa? Lalu telur ayam ras dan ungga siapa yang serap? Ini tidak lengkap. Kita seharusnya punya cadangan jagung pemerintah sehingga apapun kondisi kita bisa lakukan intervensi langsung," kata Oke.
Seperti diketahui, masalah jagung belakanan mencuat akibat tingginya harga jagung pakan yang dikeluhkan para peternak ayam petelur atau layer. Presiden Joko Widodo bahkan turun langsung menengahi masalah itu dengan memanggil perwakilan para peternak layer ke Istana Merdeka, Jakarta bulan lalu.
Oke mengatakan, Kemendag menjadi pihak yang disasar ketika terjadi masalah kenaikan harga. Dia mengakui belum lengkapnya instrumen dalam sistem perjagungan nasional menjadi kelemahan pemerintah saat ini.
Namun, dia pun menegaskan, kendatipun sistem perjagungan nasional sudah lengkap, Kemendag tetap hanya berwenang pada sisi off farm atau hilir sehingga fokus intervensi yakni pada keseimbangan antara margin pengangkutan dan perdagangan. Selain itu, upaya efisiensi logistik yang saat ini masih menyumbang sekitar 26 persen terhadap harga-harga barang.
Itu tugas Kemendag. Jadi kita ikuti mekanisme pasar, tapi akan diintervensi ketika harga tidak sesuai acuan. Pada sisi on farm, tentu itu wewenang lembaga lain," kata Oke.
Ketua Dewan Penasihat Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAAI), Eko Sandjojo, mengatakan persoalan jagung yang sama hampir terjadi stiap tahun. Situasi itu sangat tidak menguntungkan baik bagi petani maupun peternak unggas.
Di satu sisi, para petani menjadi kelompok yang sulit mendapatkan kredit perbankan karena riiskonya yang besar.
Menurut Eko, pemerintah harus mulai menyiapkan sistem penyimpanan komoditas yang mumpuni. Sebab, untuk komoditas jagung misalnya, belum memiliki infrastruktur penyimpanan yang lengkap sehingga menjadi kelemahan ketika terjadi ketidakseimbangan pasar.
"Sekarang memang kita tidak impor jagung, tapi bukan berarti itu tidak kurang. Kenyataannya kita kurang dan itu disubstitusi dengan impor gandum oleh pabrik pakan," kata Eko.