Rabu 06 Oct 2021 19:57 WIB

20 Persen Populasi di Indonesia Miliki Potensi Gangguan Jiwa

Pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu faktor meningkatnya masalah kesehatan jiwa.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Seorang psikiater memeriksa seorang anak yang mengalami kecanduan gawai di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Direktur RSJ Provinsi Jawa Barat Elly Marliani mengatakan sebanyak 14 orang pasien dengan gangguan kejiwaan dan lima orang pasien penderita adiksi (kecanduan) gawai menjalani perawatan di Klinik Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja. (Ilustrasi)
Foto: ANTARA/Raisan Al Faris
Seorang psikiater memeriksa seorang anak yang mengalami kecanduan gawai di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Direktur RSJ Provinsi Jawa Barat Elly Marliani mengatakan sebanyak 14 orang pasien dengan gangguan kejiwaan dan lima orang pasien penderita adiksi (kecanduan) gawai menjalani perawatan di Klinik Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut angka prevalensi orang dengan gangguan jiwa di Indonesia sekitar 1 dari 5 penduduk di Indonesia. Artinya, sekitar 20 persen populasi di Indonesia mempunyai potensi untuk mengalami masalah gangguan jiwa

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Celestinus Egiya Munthe mengatakan, angka tersebut sudah cukup tinggi. Hal ini lantaran jumlah populasi Indonesia sekitar 270 juta jiwa.

"Angka kematian akibat bunuh diri dari berbagai macam penyakit gangguan kesehatan jiwa seperti depresi juga makin hari makin meningkat," kata dia dalam diskusi daring, Rabu (6/10).

Ada beberapa faktor penyebab masalah kesehatan jiwa, yakni genetik, biologi, hubungan keluarga, dan sosial. Faktor-faktor tersebut dapat terjadi selama perkembangan kehidupan seseorang sejak seribu awal kehidupan hingga lansia.

Untuk faktor genetik dapat terjadi bila adanya masalah keluarga yang memiliki kecendrumgan untuk menurunkan penyakit tertentu. Kemudian, secara biologis dapat terjadi mulai dari anak masa pertumbuhan dalam kehamilan hingga tumbuh kembang setelah anak lahir.

Salah satunya adalah mengalami masalah gangguan gizi. Gangguan ini juga dapat mengakibatkan hambatan dalam perkembangan mental psikologis.

Untuk faktor hubungan keluarga, bisa terjadi pada ibu yang mengalami depresi selama menjalani kehamilan dan berlanjut setelah melahirkan. Sementara, faktor sosial antara lain akibat mengalami perundungan atau pelecehan, masalah ekonomi, dan stigma.

Munthe menuturkan, pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu faktor meningkatnya masalah kesehatan jiwa dan kematian bunuh diri akibat depresi dan gangguan kecemasan. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia mencatat angka depresi meningkat Sembilan persen.

"Mengatasi masalah itu, kami melakukan upaya peningkatan konseling. Jadi, di semua rumah sakit jiwa kami, meluncurkan peningkatan layanan kesehatan jiwa melalui telemedicine. Cukup banyak rumah sakit jiwa kita yang memberi layanan ini secara gratis," tutur dia.

Saat ini, Kemenkes sudah mempunyai platform Sehat Jiwa untuk memberi layanan konseling untuk mengatasi masalah depresi dan masalah kesehatan jiwa lainnya yang telah melayani sekitar 600 konseling.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement