REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengenai usulan pemerintah agar jadwal Pemilu digelar 15 Mei 2024, KPU kemudian mengajukan opsi Pilkada dilaksanakan 19 Februari 2025. Namun, ketentuan Undang-Undang (UU) tentang Pilkada yang menetapkan pilkada serentak digelar November 2024, harus direvisi untuk bisa mengakomodasi usulan KPU.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, sebisa mungkin penetapan hari pemungutan suara dilakukan tanpa mengubah peraturan perundang-undangan. "Saya dari awal dan juga kami Komisi II, sudah memberikan warning, sebisa mungkin kita menghindari terjadinya revisi Undang-Undang," ujar Doli dalam acara tanya jawab secara daring, Kamis (7/10).
Dia mengingatkan, sejak awal telah disepakati tidak merevisi Undang-Undang Pemilu maupun Pilkada. Jika pun dibuka ruang revisi seperti melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), maka ada potensi desakan isu lain untuk ikut diubah, bukan hanya keinginan memundurkan jadwal pilkada.
Selain itu, kata Doli, perlu juga menghindari adanya reaksi publik serupa dengan yang terjadi pada Pilkada 2020 lalu. Kebutuhan Perppu untuk mengubah hari pemungutan suara Pilkada dari September 2020 menjadi Desember 2020 karena pandemi Covid-19 menimbulkan polemik.
"Jadi sekarang kalau kita ulangi lagi nanti publik bilang, "dikit-dikit pemerintah sama DPR dikit-dikit Perppu, mereka mau ini Perppu, suka-suka mereka saja, kalau kami punya keinginan enggak bisa'," kata Doli.
Doli memahami usulan KPU memundurkan jadwal Pilkada karena kekhawatiran Pemilu digelar 15 Mei. Hari pemungutan suara Pemilu itu lebih lambat tiga bulan dari keinginan KPU menyelenggarakannya pada 21 Februari.
KPU dinilai khawatir akan kecukupan waktu pelaksanaan tahapan pilkada yang beririsan dengan tahapan pemilu di tahun yang sama. Khususnya mengenai waktu proses penyelesaian sengketa hasil pemilu yang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) molor dari jadwal sehingga dapat berimpilkasi pada pelaksanaan tahapan pendaftaran pencalonan pilkada.
Menurut Doli, penyelenggara pemilu dan pemerintah perlu duduk bersama dengan Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Mahkamah Agung (MA) agar membahas secara rinci mengenai standar dan mekanisme atau waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa pemilu.
Selain itu, ada empat persoalan lain yang perlu dibahas kembali agar penetapan jadwal pemilu tidak berdampak pada perubahan ketentuan waktu pemungutan suara pilkada, seperti mengurangi masa kampanye, pengadaan logistik pemilu, penggunaan teknologi informasi, serta keseriusan pemerintah membenahi sistem data kependudukan yang terintegrasi.
"Ada solusi nih yang harus kita exercise, apa, yang lima tadi itu, supaya pilkadanya enggak mundur, kita enggak mengubah Undang-Undang, kita coba exercise dulu yang lima ini, mungkin enggak. Kalau yang lima ini bisa mengurangi beban kerja dan waktu atau irisan yang tidak terlalu dalam lagi antara pileg, pilpres, dan pilkada, jadi enggak masalah lagi," tutur Doli.