REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Seorang pejabat tinggi kementerian luar negeri Israel menyebut Oman kemungkinan akan menjadi negara berikutnya yang bergabung dengan Kesepakatan Abraham (Abraham Accord). Kesepakatan tersebut mengarah ke normalisasi penuh antara negara-negara tersebut.
Kepala Biro Kementerian Luar Negeri Israel untuk Timur Tengah dan Divisi Proses Perdamaian, Eliav Benjamin bertemu dengan wartawan pada Selasa (6/10). Pertemuan itu dilaksanakan untuk membahas status kesepakatan yang dicapai tahun lalu, antara Israel dan Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko dan Sudan.
Ketika ditanya perihal negara mana yang menjadi kemungkinan selanjutnya, Benjamin memilih Oman sebagai negara yang telah mempertahankan hubungan tingkat rendah dengan Israel sejak 1991, ketika putaran pembicaraan damai diadakan di Madrid.
“Dengan Oman, kami memiliki kerja sama dan rencana yang berkelanjutan,” kata Benjamin, dilansir dari Jpost, Kamis (7/10).
Dia mencatat, Oman merupakan salah satu dari segelintir negara Arab yang mengizinkan Israel mendirikan kantor kepentingan setelah perjanjian Oslo Israel-Palestina 1993. Kantor-kantor itu ditutup setelah peluncuran Intifada Kedua pada tahun 2000.
Lebih lanjut, Benjamin mengatakan, terlepas dari kemunduran itu, Israel tetap terlibat dalam MEDRC, sebuah fasilitas penelitian air tawar yang didirikan di Oman pada 1996. “Jadi kami sudah memiliki hubungan dengan Oman,” tuturnya.
Dia pun menyarankan agar Oman memilih normalisasi penuh lebih cepat. Mempertahankan dan memperluas Kesepakatan Abraham, menurutnya merupakan area langka dari kebijakan luar negeri bersama antara pemerintahan Trump, yang tahun lalu menengahi kesepakatan, dan pemerintahan Biden.
“Saya sangat berharap ketika kita bertemu, jika tidak sebelumnya, waktunya tahun depan kita akan dapat berbicara tentang negara kita yang telah bergabung,” ujar Benjamin.