REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pil antivirus eksperimental molnupiravir sedang dalam proses peninjauan Food and Drugs Administration Amerika Serikat untuk otorisasi penggunaan darurat sebagai obat Covid-19. Namun, sebagian ahli kesehatan mengungkap potensi masalah keamanan serius yang menyangkut metode pil tersebut dalam membunuh virus.
Molnupiravir ialah obat oral antivirus yang terintegrasi ke dalam susunan genetik virus hingga menyebabkan sejumlah besar mutasi untuk menghancurkan virus. Namun, beberapa tes laboratorium menunjukkan obat buatan perusahaan farmasi Merck itu bisa memicu mutasi pada materi genetik pada sel mamalia.
Secara teoritis, hal tersebut dapat menyebabkan kanker atau cacat lahir. Merck menyatakan bahwa tes pada hewan menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan tuduhan tersebut.
"Keseluruhan data dari penelitian ini menunjukkan bahwa molnupiravir tidak mutagenik atau genotoksik dalam sistem mamalia in vivo," tulis pernyataan resmi Merck, dikutip Fox News pada Kamis (7/10).
Direktur divisi farmakologi biokimia di Emory University School of Medicine, Raymond Schinazi, memperingatkan bahwa molnupiravir berubah menjadi senyawa berbahaya, NHC, setelah tertelan. Dia menyarankan agar penggunaan secara luas dilakukan secara hati-hati sampai tersedia lebih banyak data. Sebab, NHC memiliki potensi bahaya bagi populasi muda usia reproduksi atau mereka yang sedang hamil.
Uji coba Merck saat ini memang mengecualikan ibu hamil. Analisis sementara dari uji coba global fase 3 yang dirilis pekan lalu menunjukkan molnupiravir mengurangi risiko rawat inap atau kematian hampir 50 persen dibandingkan dengan plasebo untuk pasien dewasa dengan Covid-19 ringan hingga sedang.