REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Menteri Dalam Negeri Israel Ayelet Shaked menegaskan, negaranya menolak pembentukan negara Palestina. Menurutnya, meskipun Israel dicap sebagai negara “apartheid” dan mempromosikan serta melanggengkan supremasi Yahudi, situasi saat ini merupakan yang terbaik untuk semua orang.
"Kami percaya pada perdamaian ekonomi untuk meningkatkan kehidupan Palestina dan untuk melakukan zona industri bersama. Tapi bukan negara dengan tentara, pasti," kata Shaked dalam sebuah wawancara dengan The National pasca kunjungan perdananya ke Uni Emirat Arab (UEA) awal pekan ini, dikutip Middle East Monitor, Kamis (7/10).
Shaked pun mengutarakan narasi propaganda yang sangat akrab digunakan Israel untuk membenarkan pendudukannya saat ini terhadap Palestina. “Kami telah mengetahui secara langsung bawah dari setiap wilayah yang kami tarik, sebuah organisasi teror akan muncul,” ujarnya.
Menurut dia, hal semacam itu terjadi di Lebanon Selatan, tempat kelompok Hizbullah memerintah dan disokong Iran. Shaked menyebut, Hizbullah memiliki ribuan rudal yang diarahkan ke Israel.
“Ketika kami menarik diri dari Gaza, orang-orang mengatakan wilayah itu akan menjadi Monako lain, tapi kami tahu apa yang terjadi di sana; Hamas mengambil alih kota dan mengubahnya menjadi negara teror. Kami tidak akan mengulangi eksperimen ini lagi,” ujar Shaked.
Oleh sebab itu, Shaked mengatakan, situasi saat ini, termasuk didudukinya wilayah Palestina oleh Israel, adalah yang terbaik untuk semua orang. “Lebih baik tetap seperti itu,” ucapnya.
Pada April lalu, organisasi hak asasi manusia (HAM), Human Rights Watch (HRW), menerbitkan laporan setebal 213 halaman yang menuding Israel melakukan kejahatan apartheid dan penganiayaan terhadap orang-orang Palestina di wilayah pendudukan. Dalam laporannya, HRW mengatakan kebijakan ganda Israel, yang dikodifikasikan dalam undang-undang, telah memberikan hak istimewa kepada orang-orang Yahudi Israel, tapi menindas hak-hak orang Palestina.
"Menyangkal hak-hak fundamental jutaan orang Palestina, tanpa pembenaran keamanan yang sah dan semata-mata karena mereka orang Palestina dan bukan Yahudi, bukan hanya masalah pendudukan yang kejam,” ujar Direktur Eksekutif HRW Kenneth Roth.
Israel telah menolak laporan tersebut. Ia justru menuding HRW berperan dalam gerakan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) terhadap negaranya. Pemerintah Israel telah lama mengecam gerakan BDS. Menurut mereka gerakan itu adalah bentuk dari anti-Semitisme. Gerakan BDS dimulai pada Juli 2005. Tujuan utama kampanye BDS adalah memberi tekanan kepada Israel agar mengakhiri pendudukannya atas Palestina.