Jumat 08 Oct 2021 19:14 WIB

Mencari Keadilan dari Kasus Perkosaan Anak Kandung di Luwu

Kapolres dan Kapolda setempat dinilai tak serius tanggapi laporan dugaan perkosaan.

Dugaan perkosaan ayah kandung terhadap tiga anaknya terjadi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Laporan dugaan pemerkosaan tersebut namun tidak berlanjut. Publik mengecam sikap kepolisian yang dianggap tidak sensitif.
Foto: Republika/Mardiah
Dugaan perkosaan ayah kandung terhadap tiga anaknya terjadi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Laporan dugaan pemerkosaan tersebut namun tidak berlanjut. Publik mengecam sikap kepolisian yang dianggap tidak sensitif.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Febrianto Adi Saputro

Dugaan kasus perkosaan yang dilakukan oleh ayah terhadap tiga anak kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, menarik perhatian publik. Bukan cuma kasus perkosaannya saja, tapi juga terkait sikap kepolisian setempat yang dianggap tidak serius menerima laporan tersebut.

Baca Juga

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat meminta penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dilakukan secara transparan. "Berbagai tindak kekerasan seksual terhadap anak merupakan tindak kejahatan yang harus segera dihentikan, mengingat dampaknya yang bisa meluas hingga ke masa datang," kata Lestari dalam keterangan tertulis, Jumat (8/10).

Lestari menyampaikan keprihatinan yang mendalam terkait kasus dugaan kasus kekerasan seksual di Luwu Timur itu. Lestari mengakui kasus kekerasan seksual terhadap anak memang cukup pelik, karena biasanya melibatkan orang-orang dekat di sekitar korban.

Lestari mendesak semua pihak yang terlibat dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat mendepankan fakta-fakta secara transparan, agar dihasilkan pengambilan keputusan yang adil dan tepat. Penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak harus transparan dan mengedepankan perlindungan terhadap korban.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) diharapkan segera tuntas untuk mempertegas hak-hak korban. Di sisi lain, tegasnya, proses pembahasan RUU-TPKS yang di dalamnya mengatur hak-hak korban kekerasan seksual, diharapkan segera tuntas.

Lestari menjelaskan kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan istrumen untuk memberikan kepastian hukum, agar negara berperan aktif dalam melindungi hak-hak para korban kekerasan seksual. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), hingga Juli 2021, terdapat 5.463 kasus kekerasan terhadap anak. Dari total kasus kekerasan pada perempuan dan anak, sebanyak 5.198 kasus terjadi di lingkup rumah tangga.

Menurut Lestari, tingginya jumlah kasus dan kendala dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, seharusnya mendorong para legislator di parlemen segera menyepakati RUU-TPKS, yang tengah dibahas saat ini. Lestari berharap para pemangku kepentingan di pusat dan daerah meningkatkan komitmennya dalam pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Tanah Air.

Sedang Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menyesalkan sikap Kapolres Luwu Timur maupun Kapolda Sulawesi Selatan yang tidak menanggapi laporan dengan serius. "Tindakan pelaku ini sangat biadab dan harus dihukum seberat-beratnya. Di sisi lain, saya juga ingin menyoroti sikap dari Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan yang kalau menurut pemberitaannya, sama sekali tidak membantu. Tidak ada perspektif melindungi korban, yang ada justru membuat korban makin trauma. Ini adalah preseden buruk yang sangat disayangkan," ujar Sahroni saat dikonfimasi, Jumat (8/10).

Politikus Partai NasDem itu mempertanyakan tindakan kepolisian yang tidak melanjutkan laporan. Menurutnya Propam Polri harus turun tangan menyikapi persoalan tersebut.

"Sudah mau laporan saja sudah syukur, tapi kalau sudah lapor tapi polisi malah tidak melanjutkan, ini keterlaluan. Kapolres dan Kapolda harus bisa menjelaskan alasan di balik keputusan ini, kalau perlu libatkan Propam. Jangan sampai kita melenggangkan tindak pidana kekerasan seksual seolah ini adalah masalah ringan," ucapnya.

Sahroni menambahkan, sikap polisi yang tidak proaktif dalam menindak laporan kekerasan seksual juga sangat disayangkan. Ia menilai kasus tersebut berpotensi memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum tersebut.

"Sekarang seiring dengan mencuatnya berita ini, muncul pula tagar #PercumaLaporPolisi, karena memang laporannya malah ditolak. Ini sangat disayangkan, karena justru tugas polisi adalah melindungi dan melayani masyarakat," tuturnya.

Dirinya akan terus memantau dan meminta Polri untuk melindungi pelapor dan korban. Ia juga mendesak kepolisian untuk membuka dan mengusut kasus ini kembali.

"Jangan sampai kasus seperti ini diacuhkan, yang akan membuat masyarakat malah malas mengadu, hingga tindakan kekerasan maupun kriminalitas jadi merajalela," tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement