REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan afirmasi untuk meningkatkan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu telah diatur sejak 2007 lalu. Namun, dosen FISIP Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani mengatakan, kondisi empiris menunjukkan minimnya jumlah perempuan sebagai anggota KPU maupun Bawaslu.
"Kondisi empiris menunjukkan minimnya jumlah perempuan sebagai anggota KPU dan Bawaslu di berbagai tingkatan saat ini," ujar Dani dalam webinar pada Ahad (10/10).
Dalam Undang-Undang tentang Pemilu, keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Menurut Dani, rata-rata jumlah anggota perempuan sebagai penyelenggara pemilu di provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia tidak mencapai 20 persen.
Bahkan, kata Dani, masih ada daerah-daerah yang anggota KPU maupun Bawaslu tidak ada perempuannya sama sekali. Di tingkat nasional, hanya ada satu perempuan dari jumlah keseluruhan anggota di KPU RI dan Bawaslu RI.
Dani mengatakan, perlu ada upaya serius dan sistematis untuk mengubah kondisi keterlibatan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu. Mulai dari proses rekrutmen dan seleksi penyelenggara pemilu hingga keterpilihannya harus menjadi satu kesatuan tindakan afirmatif.
"Memang kondisi ini belum ideal karena saat ini kita belum ada aturan di Undang-Undang untuk mengintervensi dari sisi hulunya tadi," kata dia.
Sementara itu, di tengah minimnya jumlah perempuan menjadi penyelenggara pemilu, perempuan juga menghadapi tantangan dalam keterlibatannya dalam kepemiluan. Dani menyebutkan, setidaknya ada lima hal, mulai dari sumber daya perempuan masih terbatas untuk mengisi posisi jabatan publik/politik, distribusi pengetahuan kepemiluan dan sistem politik masih terbatas, rekam jejak dalam organisasi dan kepemiluan terbatas, proses seleksi cenderung netral gender dalam perencanaan, regulasi, dan implementasi, serta kepentingan politik masih kental yang berpotensi menghambat partisipasi perempuan.
Dani menjelaskan, keterlibatan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu penting untuk kesetaraan akses bagi perempuan masuk ke lembaga negara dan terlibat dalam proses kebijakan publik. Lembaga penyelenggara pemilu merupakan jantung pembuatan keputusan politik mengatur seleksi kepemimpinan negara secara jujur, adil, demokratis, dan berintegritas.
"Jadi tidak ada lagi sebetulnya pertanyaan kenapa sih kita harus memperjuangkan hal ini," tutur dia.