REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog klinis lulusan Universitas Gadjah Mada, Zahrah Nabila, M.Psi, mengatakan Hari Kesehatan Mental Sedunia yang dirayakan pada 10 Oktober adalah momentum untuk meningkatkan kesetaraan akan akses kesehatan jiwa di Indonesia. Dia menilai keseteraan akses kesehatan jiwa saat ini di Indonesia belum cukup imbang.
"Saat pakai kacamata di kota-kota besar, ya sudah meluas, siapapun bisa mengakses dari layanan umum masyarakat terdekat (puskesmas), rumah sakit, sampai lembaga swasta," kata Zahrah, Ahad (10/10).
Dia mengatakan, ketika menilik ke kota-kota kecil, Zahra menilai akses ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan layanan psikologi masih jauh dari pemukiman penduduk. Layanan psikologi di puskesmas juga belum merata sepenuhnya di provinsi Indonesia.
Meskipun kini sudah terdapat layanan konsultasi daring (online) yang mempermudah semua orang untuk mengakses layanan kesehatan mental di mana saja, masih ada sejumlah masalah yang jadi kendala untuk masyarakat kota kecil mengakses layanan kesehatan mental."Tapi lagi-lagi ada kendala bahwa tidak semuanya oke untuk mengakses sinyal dan smartphone yang memadai," kata wanita yang berpraktik di Amazing Point of Balance itu.
Di sisi lain, saat sudah ada layanan, bisa juga mengaksesnya, kadang ada kendala stigma atau rendahnya dukungan dari orang terdekat atau sekitar. Jadinya banyak orang mundur dulu untuk mengakses kesehatan mental yang ada.
Zahrah kemudian berharap, layanan kesehatan mental semakin meluas dan membumi di seluruh pelosok Indonesia."Dan semakin banyak juga orang-orang yang terbuka atas adanya opsi layanan kesehatan mental, untuk memulihkan keluhan-keluhan psikis, mental, beban emosional, atau stres berat yang terjadi, lalu pergi ke psikolog atau psikiater tidak melulu berarti memiliki masalah atau gangguan berat," kata dia.
Setiap tahunnya, Hari Kesehatan Mental Sedunia dirayakan di tanggal 10 Oktober. Menurut Federasi Kesehatan Mental Dunia, tema untuk perayaan di tahun ini adalah Kesehatan Mental di Dunia yang Tidak Setara.