REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Saya diperintahkan untuk bertugas di kampung halaman leluhur di Sulawesi Utara agar mengetahui problem rakyat. Itu yang saya terjemahkan ketika diperintahkan KSAD Jenderal Andika Perkasa untuk menjadi Inspektur Kodam (Irdam)/XIII Merdeka di Sulawesi Utara lebih setahun yang lalu," kata Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI Junior Tumilaar di Bandung, Ahad (10/10).
Ya, itulah tanah tumpah leluhurnya sebagai orang Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Dia mengaku sangat mencintai kampung halaman keluarga dalam menjalankan tugas negara. Hal itu dikemukakannya saat bincang pagi dengan pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, melalui Zoom.
Brigjen Junior Tumilaar, pagi itu, berada di rumahnya Komplek Perumahan Angkatan Darat (KPAD) di Kelurahan Gegerkalong, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat. Ia mengaku memahami tentang risiko yang harus dihadapinya dengan membuat surat terbuka kepada Kepala Polri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Surat yang intinya sebagai protes atas tindakan oknum lembaga kepolisian Sulut yang memanggil untuk memeriksa anak buahnya, Bintara Pembina Desa (babinsa). "Saya tahu risikonya, termasuk akan dipanggil untuk diperiksa Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Puspomad). Soal pencopotan sebagai Irdam XIII Merdeka, saya siap melaksanakannya. Saya ini orang teknik tempur, jadi tahu risiko pertempuran," ujar abiturien Akademi Militer (Akmil) 1988-A dari Korps Zeni.
Dalam pertempuran, kata Junior, tidak bisa dihindari akan ada korban. Sehingga, dia siap menjadi korban dalam pertempuran tersebut untuk kemenangan yang lebih besar.
"Surat saya yang disebut Bung Selamat Ginting dalam tulisannya seperti grafiti komunikasi memang merupakan bentuk protes," ujar Junior yang mengawali tugas sebagai Komandan Peleton Zeni Tempur (Zipur) di Detasemen Zipur 5 di Ambon tahun 1988.
Guru dan dosen militer
Dia menjelaskan, dalam karier militernya lebih banyak ditugaskan di lembaga pendidikan selama sekitar 17 tahun. Mulai sebagai guru militer di Pusat Pendidikan Zeni (Pusdikzi) selama lima tahun, dilanjutkan sebagai Wakil Komandan Pusdikzi selama sekitar dua tahun. Begitu juga penugasan di Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Kodiklatad), hingga menjadi dosen utama di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).
Total sekitar 17 tahun dari 33 tahun pengabdiannya sebagai militer. "Jiwa saya guru, guru militer. Guru militer maupun dosen militer itu harus berani. Protes saya itu bentuk edukasi, pendidikan agar tidak ada lagi kesewenangan oknum polisi memeriksa anak buah saya sebagai Babinsa," kata mantan Komandan Kodim Tapanuli Tengah itu.
Junior mengaku awalnya sudah menyampaikan ada kekeliruan dari kepolisian melalui forum resmi kepada Polda Sulut, dan juga kepada Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Sulut. Ternyata tidak ada tindak lanjut apapun. Bahkan seperti tidak ada persoalan sama sekali.
Sehingga dia membuat surat terbuka kepada Kepala Polri yang tembusannya ditujukan kepada Panglima TNI, KSAD, dan Panglima Kodam XIII Merdeka. "Saya tidak mau institusi saya disepelekan, institusi saya tidak dihormati, institusi saya dilecehkan. Sebagai Irdam, saya adalah pengawas. Saya mengawasi dan memeriksa, ada yang tidak beres," kata Junior menekankan.
"Saya ambil risiko, termasuk membela rakyat yang tertindas. Masa sebagai jenderal saya takut kehilangan jabatan? Saya rela berkorban untuk institusi TNI, Angkatan Darat, untuk Kodam dan untuk rakyat Sulawesi Utara tempat saya berdinas," ucap Junior melanjutkan.
Tugas di enam kodam
Setidaknya, Junior memang sudah malang melintang tugas di enam Kodam di Indonesia, mulai dari Maluku, Papua, Kalimantan Timur, Aceh, Sumatra Utara, Jawa Barat, Jakarta, Sulawesi. Sehingga, ia memahami masalah rakyat. Termasuk masalah pertanahan dan kasus-kasus yang menimpa rakyat.
Menurut Junior, sebagai perwira Korps Zeni, ia diberikan ilmu tentang tanah dan asal usul tanah. Termasuk dokumen-dokumen pertanahan dari zaman Kolonial Belanda. Masalah tanah dalam institusi militer diserahkan penanganannya kepada Korps Zeni di Kodam. Sehingga, ia mempelajari status-status tanah di wilayah Indonesia yang digunakan oleh militer.
"Sama dengan kasus di Sulawesi Utara, saya pelajari juga status tanah yang dimiliki sejumlah korporasi (PT Ciputra International/Perumahan Citraland). Kok bisa mereka menguasai tanah-tanah rakyat, tanah ulayat, tanah adat. Sudah sekian lama terjadi, tapi tidak ada yang berani melawan kezaliman," kata Junior.
"Bisa jadi kasus tanah di Sulawesi Utara, di Sentul Bogor, dan Toba di Sumatra Utara juga mengundang pertanyaan besar. Bagaimana rakyat terusir dari kampung halamannya, tanah dari nenek moyangnya tak bisa ditempati. Rasanya harus ada keadilan bagi rakyat," kata Junior yang pernah menjadi staf ahli bidang lingkungan hidup di Kodam Bukit Barisan.
Sebagai tentara, kata dia, maka prajurit harus menyesuaikan diri dalam tugas di sejumlah daerah. Seperti saat dirinya bertugas di Aceh, Junior menghormati kebiasaan dan tradisi masyarakat Aceh. Termasuk keyakinan agama masyarakat setempat jangan dijadikan kendala, tetapi justru harus bisa menyatu dengan rakyat.
TNI itu tentara rakyat dan tidak boleh dimanfatkan oleh golongan-golongan mana pun, baik politik maupun korporasi atau ekonomi. Itu petuah panglima besar almarhum Jenderal Sudirman," kata Junior yang menyandang pangkat Kolonel selama delapan tahun dengan enam jabatan. Sementara pangkat Letnan Kolonel disandangnya selama 12 tahun dengan delapan jabatan.
Dia memang bukan perwira karbitan, namun melalui perjuangan berliku menjadi Jenderal. Kini setelah kasusnya viral, hasil pemeriksaan Puspomad berbuntut ia harus kehilangan jabatan bergengsi sebagai Irdam XIII/Merdeka. "Jabatan itu amanah, kalau diambil ya harus siap, jangan dipikirkan," kata Junior sambil tertawa lepas.
Pada Senin (11/10), dia akan kembali menjalani pemeriksaan di Markas Puspomad di Gambir, Jakarta. "Jika dianggap bersalah oleh institusi saya, Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad), saya akan terima dan patuhi," kata jenderal yang sudah berkarier militer selama 33 tahun dan berpengalaman dalam tugas teritorial, tempur, pendidikan, serta staf.
Mengenai rencana menghadapi pensiun pada Mei 2022, Junior mengaku sudah siap. Dia mengaku tidak tertarik untuk masuk dalam dunia politik, seperti mencalonkan sebagai kepala daerah. "Bidang saya bukan di situ. Jiwa saya adalah guru. Guru itu memberitahu tentang kebenaran. Jadi setelah pensiun saya akan menjadi guru," kata kandidat doktor hubungan internasional tersebut.
Ia mengaku belum bisa melanjutkan kuliah lagi, walaupun tinggal penelitian disertasi. Alasannya, antara lain karena tidak memiliki cukup dana untuk melanjutkannya. Junior lebih memilih membiayai kuliah anak-anaknya daripada menuntaskan kuliah doktoralnya di Universitas Padjajaran, Bandung.
"Modal kuat saya karena ditempa lama di lembaga pendidikan militer, jadi nurani saya tinggi untuk membela ketidakadilan di tengah masyarakat. Saat menjadi Komandan Kodim di Sibolga, saya pelajari falsafah orang Sumatra Utara. Saya pelajari antropologi sosial budaya serta kearifan lokalnya. Jadi saya tidak kesulitan dalam tugas-tugas teritorial. Itulah hakikatnya tentara rakyat," ujar mantan perwira menengah ahli nuklir, biologi, dan kimia (nubika) di Pusat Zeni Angkatan Darat.
Perihal namanya, Junior mengungkapkan bahwa marga atau fam Tumilaar di Minahasa, artinya adalah yang dirindukan. Sementara Junior adalah nama pemberian kakeknya, berarti yang muda atau penerus keluarga.
Ya, sesuai dengan namanya Junior Tumilaar, dialah jenderal penerus yang dirindukan. Selamat mengabdi, Jenderal yang dirindukan!