Senin 11 Oct 2021 13:51 WIB

Didemo Peternak, Pemerintah Didesak Stabilkan Harga

Sejak September, harga livebird anjlok ke Rp 16 ribu per kg.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Para peternak unggas dari kalangan peternak ayam broiler dan ayam layer menggelar aksi damai di sejumlah tempat di ibu kota. Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) menilai, aksi yang terus berulang terjadi itu tidak lepas dari anjloknya harga ayam hidup (livebird) dan telur ayam.
Foto: Kementan
Para peternak unggas dari kalangan peternak ayam broiler dan ayam layer menggelar aksi damai di sejumlah tempat di ibu kota. Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) menilai, aksi yang terus berulang terjadi itu tidak lepas dari anjloknya harga ayam hidup (livebird) dan telur ayam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para peternak unggas dari kalangan peternak ayam broiler dan ayam layer menggelar aksi damai di sejumlah tempat di ibu kota. Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) menilai, aksi yang terus berulang terjadi itu tidak lepas dari anjloknya harga ayam hidup (livebird) dan telur ayam.

Ia menyampaikan, berdasarkan pantauan Pataka, sejak bulan September 2021 harga livebird anjlok Rp 16 ribu sampai Rp 17 ribu per kilogram di tingkat peternak. Begitupun harga telur saat ini mencapai Rp 14 ribu sampai Rp 17 ribu per kilogram. Harga tersebut jauh di bawah harga acuan Permendag Nomor 07 tahun 2020 yakni Rp 19 ribu sampai Rp 21 ribu per kilogram.

Menurutnya, anjloknya harga livebird dan telur tidak lepas dari daya beli masayarakat menurun akibat PPKM di berbagai daerah terutama Jawa-Bali. “Banyak hotel, restoran, katering ditutup. Padahal serapan pasar Horeka cukup tinggi. Selain pasar utama ayam karkas segar dan telur ayam diserap konsumen rumah tangga melalui pasar tradisional dan toko ritail,” kata Ali dalam keterangan resminya, Senin (11/10).

Selain itu, masalah klasik oversuplai di ayam broiler masih terjadi. Faktanya pemerintah terutama Kementan masih melakukan kebijakan pengendalian di hulu.

Berdasarkan Surat Edaran (SE) terbaru oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Nomor 06066/PK.230/F/1021, pada bulan Oktober 2021 untuk memangkas produksi bibit ayam (cutting). Sebab, produksi day old chick final stock (DOC FS) atau bibit ayam diperkirakan sebanyak 300.253.946 ekor, sedangkan kebutuhan hanya 212.669.913 ekor sehingga terjadi potensi surplus sebesar 87.584.033 ekor.

Salah satu tuntutan aksi peternak yaitu ingin mencabut SE Dirjen karena tiap dilaksanakan berdampak harga DOC FS melambung tinggi. Tetapi harga livebird masih berfluktuasi cenderung rendah.

Sebenarnya, kata dia, banjirnya pasokan DOC FS pada Oktober ini tidak lepas dampak dari alokasi kuota impor GPS (grand parent stock) sebanyak 675.999 ekor pada tahun 2020. Meskipun, realisasi kuota impor 2020 sudah dikurangi sebanyak 31.001 ekor dari tahun 2019 sebelumnya yakni sebanyak 707.000 ekor. Adapun pada 2019, data menunjukkan kelebihan GPS sebanyak 53.229 ekor.

“Jumlah ayam oversuplai sepanjang 2021 merupakan dampak kuota impor ayam GPS pada 2020. Sebab ayam GPS menghasilkan ayam PS (Parent Stock) dan DOC FS. Jadi pemerintah harus cermat menghitung kebutuhan ayam di masayarakat, terutama di masa pandemi covid-19. BPS mencatat angka konsumsi ayam masyarakat dimasa normal sebesar 12,79 kg per kapita per. Konsumsi ayam turun jadi 9.08 kg per kapita per tahun dimasa Pandemi Covid-19,” paparnya.

Melihat data supply-demand 2021, data Ditjen PKH, Kementan menyebutkan kebutuhan karkas ayam sebanyak 3.129.660 ekor sedangkan produksi ayam karkas 3.507.499 ton (setelah dipangkas. Sehingga, terdapat surplus 377.839 ton (12,46 persen).

"Artinya, setelah dipangkas pun masih terjadi oversupply. Seharusnya pemerintah mengurangi jumlah kuota impor GPS sebesar 30 persen ke masing-masing perusahaan, bukan melakukan pemusnahan ayam DOC FS yang berpotensi melanggar animal welfare," katanya.

Sama halnya dengan broiler, hal yang sama terjadi pada komoditas telur ayam. Ali menyebut juga terjadi over suplai karena beberapa perusahaan pemain besar berbudidya ayam layer. Padahal menurut aturan pemerintah, pelaku usaha integrasi melakukan budidaya hanya 2 persen sedangkan 98 persen ditujukan untuk peternak rakyat.

"Saat ini pelaku usaha integrasi mengusai ayam petelur mencapai 15 persen secara nasional. Pasokan telur berlebih sehingga harga telur anjlok sejak awal September, banyak peternak ayam melakukan apkir dini karena tidak mampu menanggung kerugian yang berkepanjangan. Terutama peternak di Blitar Jatim dan Kendal Jateng," ujarnya.

Karena itu, supaya ayam broiler tidak terjadi cutting secara terus menerus dan bagaimana menstabilkan harga ayam hidup dan telur hingga akhir tahun 2021, pemerintah perlu menyerap ayam dan telur dari peternak untuk bantuan sosial/bansos masa PPKM.

Bansos selain distribusi kepada masyarakat tersampak. Bansos daging olahan juga dapat disalurkan kepada siswa tingkat SD, SMP dan SMA yang sekarang sudah mulai masuk tatap muka. Hal ini mendukung peningkatan konsumsi protein hewani guna meningkatkan imunitas dan kecerdasan di masyarakat.

“Upaya stabilisasi harga merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah harus mengeluarkan ongkos stabilisasi melalui dana APBN,” katanya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement