REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman mengaku tak habis pikir dengan cara pikir Yusril Ihza Mahendra yang menjadi kuasa hukum empat orang mantan kader Partai Demokrat dalam pengajuan uji materiil anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, cara berpikir yang dipakai oleh Yusril serupa dengan pemikiran pimpinan Nazi, Adolf Hitler.
"Asal usul teori yang dipakai atau yang digunakan oleh Yusril Ihza dalam menghadirkan permohonan JR (judicial review) AD/ART ke MA, maka diduga kuat cara pikir ini berasal dari cara pikir totalitarian ala Hitler," ujar Benny di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (11/10).
Totalitarian ala Hitler, jelas Benny, dinilai berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Sebab, organisasi sipil seperti partai politik harus mengikuti kehendak negara, dengan menggunakan alasan hukum sebagai patokannya.
"Dalam cara pikir hukum Hitler itu, yang dikehendaki negara harus diikuti seluruh organisasi sipil. Dalam hal ini dengan cara pikir itu tadi, Yusril mencoba untuk menguji apakah kehendak anggota-anggota partai politik, Partai Demokrat sejalan dengan kehendak atau kemauan negara," ujar Benny.
Dugaan Benny, masuknya Yusril dalam konflik Partai Demokrat dilatarbelakangi oleh kekuasaan yang tak terlihat atau invisible power. Tujuannya, tak lain adalah mencaplok partai berlambang bintang mercy itu secara ilegal.
"Kami menduga apa yang dilakukan Yusril tidak bersifat non-partisan, kalau dia mendengung-dengungkan atas nama demokrasi, tidak. Dia bekerja atas nama kepentingan hidden power, invisible power," ujar anggota Komisi III DPR itu.
Ia menjelaskan, AD/ART Partai Demokrat bukanlah peraturan perundang-undangan yang dapat diuji materiil ke MA. Terobosan hukum yang diklaim Yusril dinilai Benny sebagai cara pandang yang salah dari mantan Menteri Hukum dan HAM itu.
"Tetapi Yusril datang untuk mencoba menggugat ini. Kalau ini diterima, praktis tidak hanya mengikat Partai Demokrat, tapi juga mengikat parpol pada umumnya, juga mengikat organisasi sipil lainnya," ujar Benny.
"Kalau ini terjadi lengkaplah teologi hukum Hitler tadi, semua dikehendaki rakyat boleh sesuai kehendak negara ini, sangat berbahaya bagi demokrasi," sambungnya.