REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Kepala Organisasi Energi Atom Iran atau the Atomic
Energy Organization of Iran Mohammad Eslami mengatakan, Iran telah
memproduksi lebih dari 120 kilogram uranium yang diperkaya sebesar 20 persen. Menurutnya, uranium tersebut untuk kebutuhan reaktor riset milik Iran.
Pengayaan uranium Iran ini menjadi perbicangan karena apa yang dilakukan Negara tersebut pada saat ini, jauh lebih banyak dari apa yang sudah dilaporkan pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September lalu.
Sabtu (9/10) malam, Eslami memberi pernyataan dalam wawancara di TV Pemerintah,
bahwa di bawah kesepakatan nuklir 2015 beberapa negara akan memperbolehkan Iran mendapatkan 20 persen uranium yang diperkaya, sebagai bagian dari kebutuhan reaktor risetnya.
“Jika kami tidak memproduksinya sendiri, hal ini akan menjadi salah satu masalah yang kami hadapi,” kata Eslami, dilansir laman Arab News, Senin (11/10).
Sesuai dengan kesepakatan nuklir (2015), Iran tidak diperbolehkan memperkaya uraniumnya di atas 3,67 persen, kecuali untuk kegiatan reaktor riset. Karena apabila uranium yang diperkaya di atas 90 persen akan berpotensi digunakan untuk pengembangan senjata nuklir.
The International Atomic Energy Agency (IAEA) mengatakan bahwa cadangan uranium Iran yang diperkaya hingga 20 persen kemurnian fisilnya, diperkirakan mencapai 84,3 kilogram pada bulan September. Pencapaian tersebut naik setelah di bulan Mei hanya mencapai 62,8 kilogram.
Para ilmuwan memperkirakan, setidaknya 170 kilogram Uranium yang diperkaya 20 persen dapat digunakan untuk keperluan pembuatan bom. Namun Iran menegaskan bahwa selama ini program yang dijalaninya berjalan dengan damai.
Secara mengejutkan, pada 2018 Amerika Serikat melalui Presiden Donald Trump menarik
diri dari kesepakatan nuklir Iran. Tetapi Inggris, Prancis, Jerman, China, dan Rusia tetap
mencoba untuk mempertahankan kesepakatan itu.
Presiden Joe Biden secara terbuka mengatakan bahwa AS dapat bergabung kembali dengan perjanjian nuklir Iran tersebut. Tetapi pada putaran terakhir pembicaraan itu pada bulan Juni di Wina, tidak menghasilkan sesuatu yang jelas.