Senin 11 Oct 2021 20:01 WIB

Rekor Terendah, Partisipasi Pemilih Irak Hanya 41 Persen

Pemungutan suara diadakan sebagai tanggapan atas protes massal pada 2019.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Rekor Terendah, Partisipasi Pemilih Irak Hanya 41 Persen. Hussein Muanis, pemimpin gerakan politik yang disebut Harakat Huqooq, Gerakan Arab untuk Hak, tengah, memberi hormat kepada para pendukungnya pada rapat umum pemilihan sebelum pemilihan parlemen mendatang di Baghdad, Irak, Jumat, 3 September 2021. Muanis adalah pemimpin pemimpin Kataeb Hezbollah, salah satu milisi garis keras dan kuat yang memiliki hubungan dekat dengan Iran, yang pernah memerangi pasukan AS.
Foto: AP/Hadi Mizban
Rekor Terendah, Partisipasi Pemilih Irak Hanya 41 Persen. Hussein Muanis, pemimpin gerakan politik yang disebut Harakat Huqooq, Gerakan Arab untuk Hak, tengah, memberi hormat kepada para pendukungnya pada rapat umum pemilihan sebelum pemilihan parlemen mendatang di Baghdad, Irak, Jumat, 3 September 2021. Muanis adalah pemimpin pemimpin Kataeb Hezbollah, salah satu milisi garis keras dan kuat yang memiliki hubungan dekat dengan Iran, yang pernah memerangi pasukan AS.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Penghitungan suara sedang berlangsung di Irak, Senin (11/10). Proses ini dilakukan sehari setelah rekor jumlah partisipasi pemilih yang rendah dalam pemilihan parlemen.

Komisi Pemilihan Umum Irak menyatakan jumlah partisipasi pemilih dalam pemilihan pada akhir pekan hanya 41 persen. Jumlah pemilih terendah adalah di Baghdad dengan antara 31 persen hingga 34 persen.

Baca Juga

Mesin penghitung suara dan jumlah pemilih di tempat pemungutan suara yang dikunjungi Reuters di seluruh Baghdad menunjukkan jumlah pemilih tidak lebih dari 25 persen pada akhir pemungutan suara. Hitungan komisi pemilihan diumumkan 12 jam kemudian.

Pemungutan suara diadakan sebagai tanggapan atas protes massal pada 2019 yang menuntut pekerjaan, layanan, pemecatan partai-partai yang berkuasa di Irak, dan perombakan sistem politik. Pasukan keamanan dan milisi membunuh ratusan pengunjuk rasa dalam tindakan brutal terhadap kerusuhan tersebut.

Negara ini telah mengadakan lima pemilihan parlemen sejak invasi pimpinan Amerika Serikat (AS) ke Irak pada 2003 yang menggulingkan diktator Saddam Hussein. Namun, sebagian besar rakyat Irak mengatakan kehidupan mereka tidak membaik bahkan sejak ISIS dikalahkan pada 2017. Sebagian besar infrastruktur Irak terbengkalai dan layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan dasar, terutama listrik tidak memadai.

Elite penguasa mapan yang didominasi Islam Syiah, yang partai-partainya yang paling kuat memiliki sayap bersenjata, diperkirakan akan menyapu bersih suara. Gerakan yang dipimpin oleh ulama Syiah populis Moqtada al-Sadr, terlihat muncul sebagai partai tunggal terbesar di parlemen.

Pejabat Irak, diplomat asing, dan analis memperkirakan partai-partai yang didukung Iran kehilangan beberapa kursi. Mereka dituduh terlibat dalam pembunuhan pengunjuk rasa pada 2019. Hasil seperti itu tidak akan secara dramatis mengubah keseimbangan kekuatan di Irak atau Timur Tengah yang lebih luas.

AS, Teluk Arab, dan Israel di satu sisi dan Iran di sisi lain bersaing mempengaruhi Irak. Mereka memberikan Iran pintu gerbang mendukung sekutu bersenjata di Suriah dan Lebanon.

https://www.reuters.com/world/middle-east/iraq-counts-votes-after-lowest-ever-election-turnout-2021-10-11/

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement