REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Dunia Bambu Sukabumi Agus Ramdhani mengatakan, lewat kemajuan teknologi, produk-produk kriya di Sukabumi ingin dipadukan dengan budaya digitalisasi dan literasi. Hanya saja, Agus mengakui, belum memiliki teknologi tepat guna.
Selain itu, harga juga belum ekonomis. Harga dan presisi selalu menjadi permasalahan karena menggunakan kriya.
"Jika ada teknologi tepat guna sudah berjalan, akan lebih efektif," ungkap Agus melalui siaran pers Kementerian Koperasi dan UKM, Senin (11/10).
Ia menambahkan, sebagian besar dari 100 orang anggota asosiasi, sudah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Bahkan, produk-produk yang dihasilkan juga sudah ekspor ke negara-negara di Timur Tengah.
"Harga ekspor maksimal ada di angka 2 dolar AS. Kapan perajin bisa sejahtera ketika hanya menerima 2 dolar AS saja?," kata Agus.
Jenis produk yang diekspor mulai dari kaligrafi, gantungan kunci, hingga bahan dasar untuk perabotan rumah. Asosiasi juga memiliki 13 turunan produk bambu. Di antaranya, kuliner seperti rebung yang diolah menjadi sayur, kripik, hingga tepung.
Kemudian, peralatan hotel seperti sendok garpu hingga sikat gigi yang sudah diminta hotel sebanyak 500 buah per bulan, dengan harga hanya Rp 1.000 per buah.
Agus mengungkapkan, asosiasi membutuhkan teknologi tepat guna agar dapat menekan biaya produksi lebih efektif dan efisien. Selain itu juga ada arsitek, alat musik, alat olahraga, pupuk, hingga obat tradisional.
"Kami sudah memiliki legalitas formal. Dan ke depan akan membentuk koperasi agar lebih sejahtera, punya AD/ART, visi misi, hingga hymne. Juga sudah dilakukan koordinasi dan rapat kerja, dengan tujuan mampu mensejahterakan para perajin bambu," papar Agus.
Hanya saja, Agus mengakui, Sukabumi belum memiliki brand, khususnya terkait dengan bambu yang menjadi unggulan dan sudah melakukan ekspor. Meski ekspor bambu dan kerajinannya di Sukabumi sudah banyak, namun keuntungan lebih banyak di perusahaannya. Sedangkan perajin mendapat keuntungan lebih kecil dari perusahaannya.
"Mahalnya biaya ekspedisi juga berpengaruh. Harusnya bisa berangkat satu hingga dua kontainer, namun karena harga ekspedisi meningkat jadi menghambat," tutur dia.