REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Tunisia mendapatkan pemerintahan baru pada Senin (11/10), setelah lebih dari dua bulan tanpa pemerintahan. Perdana Menteri Tunisia Najla Bouden menunjuk kabinet dengan rekor terbaru dalam jumlah perempuan yang terlibat.
Pengangkatan menteri yang diumumkan oleh Bouden mengisi kekosongan yang telah berlangsung sejak Presiden Kais Saied tiba-tiba memberhentikan mantan kabinetnya dan memberhentikan parlemen 11 pekan lalu, memusatkan semua kekuasaan eksekutif. Para pengkritik dan pengacara konstitusional menilai tindakannya sebagai kudeta.
Namun, cengkraman Saied akan tetap kuat dalam pemerintahan baru ini melihat jajaran yang ditunjuk. Beberapa anggota kabinet utama, termasuk menteri luar negeri dan keuangan, sudah melayani Saied dalam kapasitas sementara. Sedangkan menteri dalam negeri yang baru adalah salah satu sekutu setianya.
"Saya yakin kita akan beralih dari frustrasi ke harapan," kata Saied pada upacara pengambilan sumpah pemerintah sambil mencerca siapa pun yang mengancam negara.
Bouden ditunjuk pada 29 September oleh Saied sebagai perdana menteri perempuan pertama Tunisia. Dia mengatakan dalam upacara pelantikan menteri barunya bahwa prioritas utama pemerintahan saat ini adalah memerangi korupsi.
Dalam pelantikan tersebut, terbentuk kabinet baru yang memiliki 10 perempuan yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk perdana menteri. Mereka termasuk Leila Jaffel untuk memimpin Kementerian Kehakiman dan Sihem Boughdiri Nemseya yang kembali diangkat sebagai Menteri Keuangan.
Saied sebelumnya telah menjanjikan pemerintahan baru pada Juli. Namun, dia kemudian menangguhkan sebagian konstitusi pada 22 September dan memberikan dirinya kekuasaan untuk memerintah dengan dekret. Dia berpendapat pandemi yang melanda Tunisia sedang dalam krisis dan tindakan itu bersifat sementara. Protes untuk dan melawan Saied telah menarik ribuan orang dalam beberapa pekan terakhir.