Sebagai kepala organisasi yang memberi nasihat kepada negara-negara tentang kebijakan energi, Fatih Birol punya pesan yang blak-blakan kepada pemerintah menjelang KTT iklim. Dia menginginkan "tindakan global yang nyata”, bukan hanya sekadar kata-kata.
"Saya ingin melihat sebuah rencana,” ujar Birol, direktur eksekutif Badan Energi Internasional, kepada AFP.
Dalam sebuah wawancara, dia membahas harapannya untuk pertemuan COP26 berdurasi dua pekan, yang akan diadakan di Skotlandia mulai 31 Oktober mendatang.
"Ada tiga hasil utama yang saya harap bisa dilihat. Yang pertama adalah: ketika kita melihat negara-negara hari ini, yang membuat komitmen untuk nol bersih (emisi) pada tahun 2050, bahwa meskipun komitmen itu terpenuhi, kita bahkan masih jauh dalam mencapai target tujuan iklim kita. Oleh karena itu, saya berharap ada penguatan dari komitmen tersebut,‘‘ katanya.
Peningkatan investasi energi bersih di negara berkembang
Yang kedua, menurutnya kesalahan besar dari seluruh perdebatan iklim adalah tentang masalah pengalokasian investasi pembiayaan energi bersih di negara-negara berkembang.
''Lebih dari 80 persen emisi dalam 20 tahun mendatang dari negara berkembang, dan hanya kurang dari 20 persen investasi energi bersih ditujukan ke negara-negara berkembang. Inilah mengapa sangat mendesak bagi negara dengan ekonomi maju, termasuk negara-negara G20, untuk memastikan bahwa pembiayaan investasi energi bersih di negara-negara berkembang jadi salah satu hasil utama dari pertemuan COP26,‘‘ tambahnya.
Sementara yang ketiga lebih bersifat politis, bahwa "para pemimpin pemerintahan yang menghadiri pertemuan COP harus memberikan sinyal yang tepat kepada para investor di seluruh dunia dengan mengatakan ‘Anda investor, jika Anda berinvestasi di sumber energi lama, Anda berisiko kehilangan uang'.
Birol juga menambahkan bahwa ada momentum politik yang luar biasa di seluruh dunia dari Cina ke Amerika Serikat, dari negara-negara Eropa ke Afrika. ''Tapi sekarang, momentum politik ini harus diubah menjadi tindakan nyata global, bukan inisiatif sporadis pemerintah di sana sini," katanya.
Biro menilai untuk memiliki target-target semacam itu sangatlah bagus , tetapi yang ingin ia lihat adalah "tonggak pencapaian untuk mencapai target-target itu dan bagaimana mereka membiayainya.''
Masalahnya ada di Asia, khususnya Cina, India, dan Indonesia
Birol mengatakan bahwa ia ingin melihat para pemegang kebijakan membuat perencanaan energi. ''Tentu saja, janji ini adalah awal yang baik, yakni memiliki komitmen untuk 2050. Tapi bagaimana ini akan diwujudkan?"
"Bagaimana cara kita menangani batu bara? Hari ini sepertiga dari emisi berasal dari penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik. Ini adalah masalah utama,‘‘ tambahnya.
Dia menambahkan bahwa masalahnya ada di Asia, khususnya Cina, India, dan Indonesia. Menurutnya, dua negara besar membuat (naik emisi) hampir mendekati setengah dari populasi dunia dan lebih dari 60 persennya berasal dari batu bara.
''Bagaimana kita menyudahinya (pabrik batu bara) sebelum investasi dibayar kembali? Ini adalah masalah utama," jelas Birol.
"Ada kepercayaan umum bahwa setelah Covid, manusia akan menjadi orang yang lebih baik, dan kami mengatakan pada saat itu, jika tidak ada kebijakan pemerintah, kebijakan yang benar, kita akan melihat rebound besar dari jumlah emisi kita." tambahnya.
Lebih jauh Birol menjelaskan bahwa emisi global tahun ini akan meningkat ke level tertinggi kedua dalam sejarah. Oleh karena itu, hasil yang baik menurutnya tidak akan bisa didapatkan tanpa mengubah kebijakan pemerintah. ''Janji itu baik, retorika itu baik, tetapi kami tidak ingin melihat ada kesenjangan besar antara retorika dan kehidupan nyata,'' jelasnya.
"Saya tidak ingin mengejutkan siapa pun. Alasannya agar lebih banyak negara membuat 2050 nol bersih (komitmen), dan kami ingin menempatkan cermin di depan mereka: jika Anda mencapainya, ini yang harus dilakukan. Kami ingin menunjukkan kepada dunia bahwa itu adalah tugas yang sangat besar."
pkp/gtp (AFP)