REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada dasarnya sulh (perdamaian) memiliki keududukan yang sama dengan jual-beli. Benarkah demikian?
Imam Syafii dalam kitab Al-Umm menjelaskan, pada dasarnya perdamaian memiliki kedudukan yang sama dengan jual-beli.
Karena itu, semua yang dibolehkan dalam jual-beli dibolehkan pula dalam perdamaian. Dan semua yang tidak diperbolehkan dalam jual-beli maka tidak dibolehkan juga dalam perdamaian.
Tetapi dari itu kemudian muncul pencabangan, sebab perdamaian dapat dilakukan terhadap semua yang memiliki ‘harga’ seperti tindakan pelukan (jirah) yang dapat menyebabkan dijatuhkannya tebusan (arsy) dan juga antara seorang istri dengan suaminya yang harus menyerahkan mahar kepadanya. Semua itu (tebusan dan mahar) memiliki kedudukan yang sama dengan ‘harga’.
Namun demikian menurut Imam Syafii, perdamaian tidak boleh dilakukan kecuali hanya pada suatu perkara yang diketahui dengan jelas. Sebagaimana jual-beli juga tidak boleh dilakukan kecuali hanya pada suatu perkara yang diketahui dengan jelas.
Telah diriwayatkan dari Sayyidina Umar RA bahwa segala jenis perdamaian boleh dilakukan di antara kaum Muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal.
Menurut Imam Syafii, di antara perkara haram yang terjadi pada perdamaian adalah ketika perdamaian itu dilakukan pada sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas yang apabila sesuatu itu menjadi objek jual-beli, maka jual-beli itu menjadi haram.