Kamis 14 Oct 2021 17:43 WIB

Pemerintah Kantongi Pajak Digital Rp 2,5 Triliun

Pajak pertambahan nilai tersebut berasal dari 83 perusahaan digital.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Pemerintah mencatat penerimaan negara dari pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap 83 perusahaan yang menjalankan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau digital sebesar Rp 2,5 triliun.
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Pemerintah mencatat penerimaan negara dari pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap 83 perusahaan yang menjalankan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau digital sebesar Rp 2,5 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mencatat penerimaan negara dari pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap 83 perusahaan yang menjalankan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau digital sebesar Rp 2,5 triliun. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah memungut PPN terhadap 83 perusahaan yang melakukan PMSE berdasarkan PMK Nomor 48 Tahun 2020.

“Sudah cukup signifikan progresnya dengan 83 perusahaan yang melakukan PMSE menyumbang PPN terhadap penerimaan negara sebesar Rp 2,5 triliun,” ujarnya saat webinar Dialog Publik secara virtual, Kamis (14/10).

Menurutnya, aturan ini masih menjadi tantangan pemerintah di seluruh dunia untuk melakukan pajak berbagai transaksi berbasis digital. “Ini hal-hal yang tidak kita pikirkan dalam beberapa masa lalu, sekarang menjadi fenomena penting,” ucapnya.

Yustinus menjelaskan di dalam peraturan yang sama, pemerintah juga telah mengatur pajak penghasilan (PPh) badan usaha yang melakukan PMSE. Namun pungutan ini belum dijalankan karena masih menunggu hasil dari konsensus global yang dapat diterapkan.

“Pendekatan unified, kita masih menunggu redefinisi BUT (Badan Usaha Tetap) yang akan menjadi dasar pemajakan kita atau apakah pendekatan market intangible yang bisa kita gunakan,” jelasnya. 

Di samping itu, pemerintah melakukan pengaturan pemajakan global yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hal ini berkaitan dengan transaksi yang terjadi platform digital lintas negara.

Pada pasal 32A, pemerintah berwenang untuk membentuk dan atau melaksanakan perjanjian dan atau kesepakatan bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra secara bilateral maupun multilateral. "Jadi dalam pasal 32 UU HPP, pemerintah akan melakukan penunjukan pihak lain untuk melakukan pemungutan pajak," ucapnya.

Yustinus menyebut kebijakan ini lahir untuk mengantisipasi beberapa hal, antara lain antisipasi implementasi kesepakatan internasional G20 terkait penerapan PPh badan minimal secara global (GloBE) dan pajak atas transaksi digital. 

“Mengantisipasi pengaruh implementasi GloBE terhadap pemanfaatan fasilitas perpajakan seperti tax holiday dan super deduction yang diterima oleh wajib pajak termasuk juga untuk melaksanakan dan mengantisipasi kesepakatan lainnya seperti BEPS,” ucapnya.

Dalam UU ini, pemerintah memiliki kewenangan dalam menetapkan pihak lain sebagai pemotong atau pemungut pajak atas transaksi yang melibatkan pihak lain. "Jadi nanti PMSE sudah dicirikan siapa yang berhak memungut pajaknya," kata dia.

Adapun penunjukan ini sangat penting karena akan mempermudah kinerja platform digital dalam menjalankan sistem baru ini, sehingga bisa lebih efektif dan efisien agar tidak mengganggu dinamika bisnis yang dijalankan.

"Nanti platform ini lebih mudah dijalankan sistem yang baru ini dan lebih efektif, efisien dan tidak ganggu dinamika bisnis, tapi sebaliknya akan jadi lebih efektif," kata dia.

Menurutnya penunjukan pihak yang melakukan pemotongan pajak ini sebagai solusi dari perkembangan transaksi ekonomi yang semakin dinamis. “Sehingga pemungutan pajak dapat dilakukan secara efisien, sederhana dan efektif,” ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement