REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1933-1938, ia bersama ayahnya kemudian mengungsi ke daerah Kabupaten Tasik untuk menyebarkan agama Islam. Setelah pulang dari pengungsian, pengajiannya dibuka lagi.
Pada saat itu, Pesantren Al-Falah Biru sudah memiliki puluhan murid. Bahkan, pada masa penjajahan Jepang muridnya sudah mencapai ratusan ribu.
Dalam buku Perjuangan KH Syaikhuna Badruzzaman dalam Merebut, Mempertahankan, dan Mengisi Kemerdekaan, Mumuh Muhsin Z. mengungkapkan bahwa Kiai Badruzzaman adalah seorang priyayi, hartawan, seorang ulama besar dalam bidang syari’ah, bidang tasawuf, ahli hikmah, seorang jawara, dan merupakan seorang organisator yang aktif dalam berbagai ormas.
Menurut Mumuh, Syaikhuna Badruzzaman sebenarnya bisa saja hidup nyaman dan tenang dengan hak-hak istimewa dari penguasa di zaman penjajahan. Asalkan, ia mau duduk manis, bekerja sama dan berkompromi dengan penguasa.
Namun, sebagai ulama pejuang, Syaikhuna Badruzzaman tidak menginginkan hal itu. Ia justru aktif membimbing masyarakat ke jalur yang baik dan benar. Kehidupannya selalu diiringi dengan semangat amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran.
Mumuh mengatakan, Syaikhuna Badruzzaman juga bersemangat membebaskan masyarakat dari ketertindasan, kezaliman, kebodohan, dan kemiskinan. Dengan pondasi tauhid yang kukuh, ia pun tidak takut terhadap apa pun, kecuali kepada Allah SWT Yang Maha Esa.
Sejak zaman penjajahan Belanda, Syaikhuna Badruzzaman telah dikenal sebagai seorang ulama yang sangat berani dalam memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial. Diantaranya, ia pernah melakukan penentangan terhadap praktik penyuntikan terhadap mayat. Bersambung.
Baca juga: Syaikhuna Badruzzaman, Ulama Pejuang dari Garut (5-Habis)