REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Penyelidik PBB Tomas Ojea Quintana mengatakan anak-anak dan orang lanjut usia di Korea Utara berisiko kelaparan. Dalam laporan yang dirilis pada Rabu (13/10), Quintana mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa sektor pertanian Korea Utara menghadapi banyak tantangan karena penurunan impor pupuk dan barang-barang pertanian lainnya dari China.
Penurunan impor tersebut merupakan dampak dari sanksi PBB dan internasional akibat program nuklir Korea Utara dan wabah demam babi Afrika. Quintana menjelaskan kebijakan penutupan perbatasan yang ketat untuk mencegah Covid-19 sejak Januari 2020 telah mengakibatkan kesulitan ekonomi.
"Penutupan berkepanjangan dan pembatasan yang ketat sejak Januari 2020 telah mengakibatkan kesulitan ekonomi dan peningkatan kerentanan terhadap pelanggaran hak asasi manusia di antara populasi umum," ujar Quintana.
Korea Utara memberlakukan penutupan perbatasan skala penuh, termasuk pembatasan perjalanan antara kota dan wilayah. Negara tersebut juga menerapkan pembatasan impor pasokan yang tidak penting termasuk barang-barang bantuan kemanusiaan.
Quintana mengatakan sebelum pandemi Covid-19 lebih dari 40 persen warga Korea Utara mengalami kerawanan pangan. Banyak yang menderita kekurangan gizi dan pertumbuhan anak-anak menjadi terhambat. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, jumlah kerawanan pangan di Korea Utara semakin meningkat seiring dengan kenaikan harga beras dan jagung di berbagai daerah pada Juni.